7:41 AM

5 Pahlawan Kecil

“Prestasimu adalah kebanggaan kami,
Semangatmu adalah semangat kami,
Kekuranganmu adalah tantangan kami!”
- untuk anak-anakku



Hari ini telah kami tunggu cukup lama. Ini sungguh-sungguh hari yang bersejarah buat kami. Akhirnya hari ini kita bisa wujudkan beasiswa tahap pertama untuk anak-anak Belandingan. Terimakasih tak terperi buat kawan yang mendonasikan uang Rp.500.000 untuk dibagi 5 anak (mudah-mudahan bisa setiap bulan) yang akhirnya kami gunakan untuk program beasiswa ini. Ia wanti-wanti aku, minta namanya untuk tidak dipublikasikan. Tx bro!

Ayunan kakiku sore itu bertandang ke desa Belandingan serasa lebih ringan. Aku sungguh sangat bersemangat untuk segera bertemu dengan bapak kepala desa. Namun, seperti biasa, segala sesuatu sungguh tak semudah seperti yang dibayangkan. Sangat tak mudah. Bahkan memilih 5 anak saja dari 3.000 anak-anak alam adalah pekerjaan cukup berat dan pekerjaan beresiko. Nah lho….

Ya, salah-salah nanti dibilang pilih kasih. Salah-salah nanti pak kepala desa dimarahin oleh orang tua dari anak yang tak mendapatkan beasiswa. Diberi untuk 5 anak, nanti ribuan anak yang lain bisa saja nuntut. ”Kan kami semua sama-sama membutuhkan Pak!” begitu alasan mereka. Kalau uang ini kita bagi rata, konyol banget kalau kita kasi beasiswa 500 rupiah per anak per bulan, sama saja bohong!

Bagi orang tua anak-anak Belandingan, menyelesaikan pendidikan anak-anak mereka hingga tamat SD adalah sebuah prestasi besar. Dan setelah itu, bagi sebagian orang tua ini memiliki harapan agar anak-anak mereka bisa bekerja setelahnya ke Denpasar, menjadi pembantu, menjaga toko, atau apa saja asal bisa menghasilkan uang. Sebagian bekerja apa saja, asal tak sekolah yang menghabiskan biaya. Please deh..., jangan pernah tanya mereka tentang SMA atau perguruan tinggi. Ini adalah mimpi atau lebih baik disebut hayalan tingkat tinggi.

Hari ini aku telah menemukan 5 anak itu. Anak-anak belandingan yang telah kami anggap anak-anak kami sendiri. 5 anak yang mudah-mudahan bisa menjadi generasi-generasi baru yang akan meneruskan cita-cita kami kelak, memajukan desa mereka.

Meriandani baru saja masuk kelas 1 SMP. Ia adalah juara kelas ketika sekolah di SDN Belandingan. Pelajaran yang paling disukai olehnya adalah budi pakerti. Pejajaran lain yang ia suka bahasa Bali. Nah,... aku tanya ia cita-cita kalau sudah besar nanti, ia mikir lama sekali, itupun ia tak memberi jawab pada akhirnya. Ok, aku tanya ia “Pilih mana, menjadi dokter apa bekerja di hotel suatu saat nanti?” Ia memilih menjadi dokter. Ok. Aku harap ia akan menjadi dokter pertama dari Belandingan kelak. Dari sorot kedua matanya aku lihat banyak kemungkinan menyala-nyala disana. Mudah-mudahan kami bisa menambahkan bahan bakar yang cukup kedalamnya.

Ni Kadek Samiasih, anak kedua dari 6 bersaudara. Ia kami temui sebulan lalu saat green camp. Ketika itu Rika - peserta camp - mendatangi saya dan menceritakan perihal pertemuannya dengan seorang anak perempuan yang ingin sekolah namun tak memiliki biaya.
“Bli kita punya program beasiswa nggak?” Ia haru biru menceritakan pertemuannya dengan Kadek Samiasih, dan keinginan aanak itu untuk melanjutkan ke SMP, namun tak diijinkan oleh kedua orang tuanya. Di wajah Rika aku lihat ia memendam harap yang sama untuk anak itu. Aku suruh Rika untuk mencatat namanya dan nama orang tuanya.

Aku benar-benar menyesal hari ini. Merasa bodoh! Ternyata itu adalah permintaan yang mendesak sekali. Tahun ajaran baru telah lewat sebulan lalu, dan ketika kami datang malam ini, dan membawakan beasiswa untuknya, ia telah dipekerjakan di Denpasar. Sigh, terlambat!..... aku benar-benar menyesal. Malam itu aku hanya bisa bertemu dengan pamannya. Besar harapanku, semoga kita masih bisa berbuat untuk mimpinya sekolah SMP, entah sekolah terbuka sekalipun.... (mohon segera pertemukan aku dengannya, please....)

Anak yang satu ini bernama Ketut Kariasih, kelas 4 SDN Belandingan. Tanpa sengaja aku temui anak ini sedang tertidur di rumah saka roras* keluarganya ketika aku disuruh mampir oleh seorang ibu untuk sekedar minum kopi. Aku mendatangi mereka malam itu setelah bertemu bapak kepala desa.
”Lagi sibuk apa sekarang Pak Putu. Terimakasih kaos anak alamnya kemarin ya...”
”Ya bu sibuk kerja! Wah, sama-sama.” (sore itu saat aku melihat-lihat kampung, aku lihat beberapa anak-anak masih mengenakan baju kaos anak alam warna putih yang kini telah berubah cokelat.. )
Ketika aku menceritakan perihal kedatanganku untuk mengurusi beasiswa untuk anak-anak Belandingan, ia langsung marah-marah kepadaku,
”Anak-anak kami tak pernah dapat beasiswa. Mereka bodoh-bodoh semua.“ Ia terlihat ketus kepadaku.
Ia memiliki 8 orang anak, dan hanya 3 sekarang yang disekolahkan. Itupun karena kenekatan 3 anak ini mendaftar sekolah sendiri sehingga ibunya tak bisa berbuat apa-apa untuk menolak.
”Sebelum tidur aku suruh ia menulis nama, sekolah, nama orang tua, dan cita-citanya dalam selembar kertas. Ia menulis ”saya ingin masuk sekolah sempe....”
Khusus untuk anak ini aku memberi pengecualian, tak perlu pintar untuk kami bantu.
Dan saya tahu akan membuat banyak sekali pengecualian-pengecualian lain terhadap anak-anak yang lain setelahnya. Mereka semua pada dasarnya menghadapi permasalahan yang tak jauh beda.

Malam itu aku ngobrol dengan keluarga Ketut kariasih sampai larut malam, dan akhirnya aku menginap disana malam itu. Tidur di rumah saka nem itu, menyatu dengan asap dapur, penyimpanan jagung, penyimpanan barang, menjadi warga Belandingan, menjadi mereka, merasakan apa yang mereka rasakan, merasakan kehangatan dari kekurangan mereka, menjadi anak Belandingan (sehari).

2 anak lagi yang aku pilih adalah Wayan Karma Jaya juara 1 kelas 2 SDN Belandingan dan Artawan juara 1 kelas 6 SDN Belandingan. Malam itu aku belum sempat bertemu dengannya, menanyakan cita-citanya, motivasinya, dan kendala anak-anak ini. Namun atas petunjuk bapak kepala desa, tentu aku tak perlu mendebatnya lagi.

Klop, aku sudah mendapatkan 5 anak. Namun ini baru 5 anak dari 3.000 anak-anak alam yang kami punya. Masih tersisa 2.995 anak yang masih berjuang mendapatkan hak dan kesempatan.
(Oh, jika saja kami kaya........ sigh!!!....) ah,.. whatever.

Jalan kita masih panjang nak! Setidaknya langkah pertama telah kita kayuh bersama....

Akankah kalian menjadi teman langkah-langkah mereka selanjutnya???




Pande
Belandingan,
20 september 2009,
*rumah saka roras: rumah adat terbuat dari kayu.

I will sleep tight tonite!.....

Meriandani
Meriandani dan Ni Kadek Samiasih membawakan puisi saat green camp
Ketut Kariasih
Wayan Karma Jaya dan Meriandani
anak-anak alam
anak-anak alam
bukan siapa-siapa :)

0 comments:

Post a Comment