7:07 AM

Orang Miskin Dilarang Berwisata


welcome to the lost paradise!


Dan oleh karena itu hingga kini aku percaya, alam jauh lebih cantik tanpa transkrip dan narasi, dan kesederhanaan arsitektur alam jauh lebih memikat hatiku sampai kapanpun melebihi arsitektur yang manusia buat dalam rupa hotel, resort, club, lapangan golf, kota satelit, dan semua mimpi-mimpi semu dan jemu itu. Jemu.

Dari kejauhan bukit kapur hasil ukiran alat berat tampak memberi salam selamat datang, sementara orang-orang entah siapa itu, sibuk mengendarai mobil golf dengan caddy-nya berpindah dari satu lapangan ke lapangan lain memukul bola hingga melambung jauh. Bola itu melambung entah kemana. Jauh. Dan mereka tersenyum. Berpindah lagi dan begitu seterusnya.

Masih menelusuri jalan boulevard ini, yang di kanan kiri tanah masih ditumbuhi belukar, dan beberapa yang lain telah ditanami rumput golf dan ada danau-danau buatan menampung air entah hujan atau air tanah yang dinaikkan mesin bor. Cuaca cukup bersahabat, tak terik pun juga tak mendung, walau biru langit tak terlalu cerah.

Aku ingat kala itu, dulu, saat pulau ini masih bertabur senyum dimana-mana, pantai ini betul-betul tanah mimpi, seperti apa yang orang memberinya nama. Membawa sepeda motor, atau mobil kijang hijau, memasukkan papan surfing ke dalamnya, nyetir nggak pernah pakai baju, hingga tiba di ujung bukit. Dan dibawah pasir putih menyapa dengan senyum.

Meniti jalan menuruni tebing bebatuan karang dan itulah karenanya ia kami sebut ia pahatan alam, membawa papan surfing bersusah payah dan ketika menyentuh lembut pasir putih kami jeda sejenak menikmati orange juice segar di cafe2 sederhana yang bertebaran di bawah.

Hari ini aku menginjakkan kaki di tanah mimpi ini lagi, tanah yang benar-benar dunia mimpi kala itu. Aku masih ingat, bercengkerama dengan beberapa orang yang ‘maaf’ masih berani setengah telanjang, menganggap pantai ini rumah mereka.

Setelah tadi melintasi jalanan macet (padahal itu adalah jalan by pass) dan dalam seluruh perjalanan dengan hiasan artshop, toko, ruko, memenuhi jalan hingga Unud. dan ketika naik ke Unggasan, beberapa apartemen baru dibangun dengan jumlah ratusan kamar congkak menantang langit. Wajar saja, view dari kawasan bukit khususnya Ungasan memang cantik. Namun, cantik itu milik kita semua, (sejatinya tak baik diklaim oleh satu dua orang saja!)

Kini banyak bangunan ala Eropa berjejer di pinggir Ungasan, kebanyakan minimarket, drugstore ala barat, dan privat-privat villa yang menoktahi tanah-tanah kapur. Aku serasa seperti sedang di singapore atau Mui Wo Hong Kong melintasi jalanan ini. Ya, Mui Wo seperti ini, bangunan, semak, laut.

Pantai ini cuma satu kekurangannya, dasar pantai bukan pasir tetapi karang, maka ini bukan menjadi pantai favoritku untuk bermain surfing, tapi tentu pantai favorit untuk menghilangkan penat, keluar dari hiruk-pikuk kota denpasar yang majemuk.

Dulu masih banyak hotel-hotel kecil berdiri disini, persis berdiri di bibir tebing batu kapur ini, dan harga sewanya masih murah, bahkan masih bisa menginap dengan modal seratus ribuan. Banyak orang main volly kala sore, dan siapa saja boleh ikut, bahkan kamu! Dan kala malam jika kita ingin menggelar api unggunpun tanah mimpi ini adalah juaranya. Dan pantai ini adalah tempat para pecinta keindahan dan kedamaian berkumpul. pernah sekali waktu ketemu turis bule dari Afsel dengan rambut gimbal, dan kita ngobrol hanya bermodalkan orange juice doang.

ada juga seorang kakek yang kami sebut 'legend' karena dia ada dari semenjak pantai ini hanya dihuni mahluk entah apa hingga kini dipenuhi sosok manusia dari berbagai benua. Ia selalu akan bersuka hati berbagi cerita tentang romansanya mendiami pantai yang sunsetnya sangat cantik dan ungu ini.

*

Dan ini cerita hari ini. bukan lagi masa lalu. bukan lagi romansa. Jalan menurun tak lagi sama. Beton menambal tebing dimana-mana. Dan aku sudah seperti menjadi turis saja, -padahal aku orang Bali (hehe). Siapa yang turis siapa yang orang Bali sudah nggak jelas?

dan orang Bali sendiri yang tersisa, hanya menjadi tukang jaga karcis, tukang atur parkir, dan sebagian masih bisa sewakan bogie board, sementara seorang bapak masih mencoba mencari rumput hijau untuk sapi-sapinya di seputar resort.

Dan sekarang mohon dipikir lagi dengan baik-baik, apa yang anda banggakan dari Bali? Bali kita?



Aku tak dalam kapasitas menyalahkan orang kaya! Nggak sama sekali! apa yang salah dengan kaya? Nggak ada. Dan kaya adalah sebuah keharusan, kau betul. Cuma, aku ingin ada baiknya definisi kaya itu kita perbaiki sedikit saja, bahwa kekayaan bukan hanya emas, permata, uang, dan segala macam atribut fisik itu. Kaya adalah bagaimana kita bisa menikmati alam apa adanya, untuk kita semua. Kaya adalah mentari yang sama yang menelusup jendela timur rumah kita di pagi yang sama. Kaya adalah jika kekayaan kita berguna untuk orang lain. Kaya adalah jika kita kaya dan tak membiarkan orang lain miskin. Kaya adalah jika kita punya uang dan tak memaksakan kehendak kita kepada alam, yang malah sepantasnya kita harus cintai.

Sekali lagi, aku tak sedang menyalahkan uang kalian. Aku hanya orang biasa yang mencintai BUMI ini. siapa yang membuat bumi ini, kita? tentu bukan kan? Ada layaknya kita kembalikan ia sebaik waktu kita pinjam ia pertama kali, kepada yang Empunya.

Dan aku juga tak dalam kapasitas menyalahkan orang miskin. Tak sama sekali. Mereka ada, maka dari itu kita menjadi berguna. Bisa memberikan kemampuan, tenaga, pikiran, dan berbagi kebahagian dan kekayaan kita dengan mereka. Bayangkan jika kita kaya semua, lalu apa uang berarti??? Dan kita tak punya alam lagi untuk kita tempati!

Tanaman beton hingga kapanpun tak kan menghasilkan bebunga. Tanaman beton hingga kapanpun bukan naungan buat binatang berteduh kala siang, tempat burung bersarang kala malam. Tanaman beton tak kan memberi kita dedaun, bunga, buah, kayu, tak kan. Tanaman beton hingga kapanpun tak kan bisa memberikan naungan penggembala sapi yang ingin berteduh saat jeda menyabit rumput.

Dan aku masih ingat, kala malam lalu orang-orang menikmati dan merayakan kesemuan malam dalam nafas-nafas orang yang berdendang, riang, lupa daratan. Persis seperti kala siang ada orang berpindah dari satu rumput ke rumput lain memukul bola, lalu tertawa. "Bumi ini ada untuk dinikmati! bukan urusan kalau yang lain..."

Oke, sekali lagi aku tak sedang menyalahkan siapapun. Ini BUMI milik kita semua. Tak ada undang-undang melarang orang bahkan mau jungkir balikpun di sini. Tak ada.

Aku hanya ingin bertukar suara, bahwa ada baiknya kita hidup di BUMI yang kita miliki bersama-sama ini lebih bertanggungjawab. Jika keinginan dikejar, bahkan langitpun bukan batas! Jika uang dikejar, bahkan lautpun juga bukan batas. Jika keindahan dan kedamaian dikejar, ia ada bahkan disegala tempat diseputar kita, jika kita menghargainya.

Manusia diciptakan dengan kemampuan untuk menjadi bahkan memiliki sifat sebening Pencipta, atau menjadi manusia dengan kodrat manusia adanya, bahkan menjadi binatang! Kau tentu masih ingat ungkapan homo homini lupus "man is a wolf to [his fellow] man." Manusia yang satu merupakan serigala bagi manusia lainya. Silahkan pilih! Sekali lagi bebas!

Namun, adakah jalan yang sebenarnya kita bisa saling bertemu dan menghargai?
kaya - miskin. kita - alam. ha????????

tolong pikir ke-BALI-an anda sekali lagi? jika hanya diam!

Welcome to THE LOST LAST PARADISE, sir!

dreamland 4 tahun lalu

dreamland berubah hari ini

dreamland 4 tahun lalu

dreamland berubah hari ini


“Gemerlap pariwisata di pulau surga itu dicetak dan disemir lebih oleh industri pariwisata internasional daripada oleh orang Bali sendiri.”
_Lonely Planet


copyrighted ©
pande putu setiawan
mar 31, 2010i

maaf nak, kami tak bisa beri BALI yang indah untukmu!

0 comments:

Post a Comment