5:54 AM

Diary Anak Alam 1

Aku telah mempersiapkan semua gadgetku semalam. Tas punggung nike, laptop acer, modem tri, kartu XL, ester-C, baju, kamera tak bermerek, senter, puluhan buku puisi dan essay, duit, speaker, sachet milo, dan hati benderang sebenderang pagi ini.

Tempat yang aku tuju pertama kali hari ini adalah sekolah. aku kangen mereka saat mereka semua berkumpul. dan benar, baru dari jauh saja motorku terlihat dan bau badanku berhembus dan mereka cium, mereka semua tahu aku datang. Mereka teriak, namun tetap menunggu dari atas, membiarkan aku memarkir motorku. seorang diantaranya membantu aku mengambil laptopku, sementara yang lain memegang kamera poketku. Mereka sudah siapin gaya foto barangkali, dan ingin segera difoto.

Aku menyapa mereka satu per satu, menyalami dan berbagi kabar. Aku memastikan sekali lagi bahwa mulai malam ini aku akan tinggal sama mereka, mereka mulai mereka-reka rencana sendiri. Menyuruh masak lah, dongeng lah, naik bukit ke tower lah, belajar bahasa inggris lah, dan banyak permintaan lain, dan semua aku amini. YA.

Hingga siang aku merasa cukup dapat foto mereka hari itu dan mulai lapar, aku tinggalkan mereka sejenak untuk makan siang dan rehat.

Jam 3 sore aku kembali datang menemui anak-anak dan kita langsung meluncur ke wantilan desa. Aku suruh Puspasena untuk membacakan sebuah cerita Kancil dan Kura-Kura untuk mengisi sore itu. Sejujurnya aku masih mencari-cari celah buat bisa mencari tahu keinginan mereka lebih banyak. Apakah itu melalui bermain seperti ini, atau aku harus kunjungi mereka satu per satu ke rumah mereka, kita lihat saja nanti.

Malam tiba, anak-anak masih mengerubungiku di depan balai desa. Mereka masih minta aku bermain. Padahal aku lagi butuh rapikan file-fileku. Aku ladeni mereka sejenak, namun wah fatal, mereka malah tambah banyak. Terpaksa pakai jurus pamungkas akal-akalan konyol. aku menyebutnya permainan 'batas logika'.

Setelah semalam dikerumuni oleh anak-anak, akhirnya dengan akal-akalan tes IQ ala larutan cap kaki tiga dan janji akan membuat kue sate keesokan harinya, satu per satu anak-anak bisa aku buat pulang. fiuh.....

Hari ini adalah hari pertama aku bermalam di kampung mereka dan aku memilih untuk menginap di rumah Ni Kadek Samiasih. Keluarga mereka sangat terkejut ketika aku bilang akan memutuskan bermalam di rumahnya. Maklum saja dalam bayangan mereka, tentu aku butuh fasilitas rumah berukir stil bali, kamar mandi dalam, atau setidaknya kasur empuk, mereka jadi merasa tak enak bodi.
keluarga Kadek Samiasih & Ni Komang Trisna Wangi

Namun ketika saya jelaskan bahwa saya bukan tipe orang borjui, anak mami, pun anak pejabat, dulu saat gempa di Jogja saat bekerja untuk PBB pun saya biasa menginap di tenda yang keadaannya barangkali tak selayak huni rumah mereka, mereka akhirnya balik bersukacita. Jarang-jarang ada tamu yang mau menginap bersama mereka.

Kadek samiasih sudah kami kenal dekat sejak lama, ketika kala itu ia mengutarakan keluhannya tentang keinginannya bersekolah kepada salah satu kawan anak alam, saat kami mengadakan camp bulan agustus lalu. Dan tadi pagi ketika saya mengunjungi anak-anak di sekolah, dan kebetulan bersua dengan seorang anak kelas IV cerdas yang bernama Komang Trisna Wangi, ternyata mereka berdua bersaudara. Kebetulan, aku bisa bercerita panjang malam ini bersama mereka berdua tentang mimpi setinggi gemintang yang aku ingin tahu dari mereka, dari satu rumah. Ya, mereka anak-anak cerdas.

Seperti kebanyakan rumah warga desa belandingan, mereka tinggal di rumah yang mereka sebut ‘umah saka roras’. Disebut demikian karena rumah ini memiliki tiang (saka) yang berjumlah 12 batang. Pintu rumah dibuat pendek, begitu juga struktur flapon, dengan atap dari potongan-potongan bilah bambu. Ada teras kecil di depan yang sebagian besar berupa semen atau tanah. Umah Saka 12 terdiri dari 3 ruang (kamar) utama, yang sejatinya hanya seperti dipan kayu, termasuk dapur (tungku api) menyatu di dalam rumah itu. (tenang aja, sudah teruji bertahun tahun bahwa ini tak bakalan menimbulkan kebakaran.) Kolong di bawah masing-masing dipan berupa tanah dan biasa digunakan menyimpan kayu bakar. Sedang di langit-langit yang dibatasi oleh anyaman bambu digunakan untuk penyimpanan hasil panen semacam bawang atau jagung.

Jika kebetulan saat kita datang mereka sedang masak, maka bersiaplah mata kalian akan perih oleh asap yang berputar-putar dalam ruangan. Ini juga barangkali yang membuat semua bagian rumah menjadi legam. Tapi menurut mereka struktur kayunya malah menjadi lebih kuat. (percaya aja lah…)
Rumah saka 12 keluarga kadek samiasih

Malam itu aku dihidangkan nasi, telor ceplok, kopi, dan semua makanan yang mereka punya. (ya ampun bu, cukup). Keluarga besar Kadek Samiasih bengong melihat aku mengeluarkan benda yang tampak seperti maenan alien yang bernama laptop merek Acer-ku. Sementara 2 bolang belandingan yaitu Naris dan Puspa tak ingin pulang, menemani aku tidur di rumah kadek samiasih malam ini.

Dan inilah oleh-oleh pertamaku buat kalian. Seri POSTCARD FROM HEAVEN pertama yang aku tulis, sebuah cerita tentang Kadek Samiasih dan keluarganya. Aku tak merubah cara penulisan kadek maupun Komang sedikitpun, aku hanya menyalinnya dari tulisan yang ia buat di buku tulis (yang barangkali adalah sumbangan dari kawan-kawan anak alam kami sebelumnya.)


time to get off.

zz...zzz..zzz...zzz.....


copyrighted: pande
sebuah tempat yang tak tercatat dalam peta, jan 6
trims kadek dan komang beserta keluarga..

0 comments:

Post a Comment