7:44 AM

Menangislah!

"Pak Putu bisa tangkap kehidupan anak-anak kami sedetil itu?"
-I Wayan Waris, Kepala Desa Belandingan


Sore ini, awan mendung, aku masih berharap hujan jangan dulu turun. Hari ini aku harus bertemu dengan bapak kepala desa Belandingan, karena esok hari aku harus sudah berada di Denpasar menghadiri acara simakrama pagi-pagi dengan Bapak Gubernur. Hari ini aku harus mendapatkan tanda tangan bapak kepala desa, karena tanpa tanda tangannya, proposal kegiatan ini ibarat macan ompong. Dalam tas blacuku ini sudah aku siapkan beberapa salinanan proposal kegiatan dan rumah baca Komunitas Anak Alam yang akan kami buat untuk desa Belandingan, juga beberapa foto anak-anak yang sudah saya cetak dalam album plastik. Tentu tak lupa membawa laptop yang sudah dibekali batere penuh terlebih dahulu, takut saja nanti di balai desa Belandingan tak ada colokan listrik (...mungkin saja, tak ada salahnya jaga-jaga :) ). Disitu ada film foto klip anak-anak Belandingan yang telah saya buat.

Tak lupa mengenakan dua buah jaket untuk menghindari dingin hawa kaldera saat-saat sore menjelang malam. Hawa disini memang rada aneh. Siang udara kering terkadang berdebu, dan malam hari berbalik 180 derajat, dinginnya minta ampun. Tidur saja kadang harus menyelimuti seluruh tubuh dengan dua selimut wool.

Jujur, aku agak gugup. Boleh saja mereka sekampung mengenal ayahku yang seorang paramedis karatan di daerah kaldera danau Batur ini, tapi aku siapa? (Walaupun aku anak kandungnya - memiliki tetesan darahnya - apa yang aku telah perbuat untuk warga desa Belandingan? Nol! Atau bahkan mungkin mereka akan mengira aku orang dari Denpasar karena mukaku jarang sekali mereka lihat, atau mungkin tak pernah?) Pikiran-pikiran itu menggelayut datang silih berganti. Tak berlama-lama aku segera buang ia jauh-jauh. "ah lupakan", pikirku.

Pertemuan kami sore itu telah diatur oleh seorang yang sudah dihubungi oleh bapakku akan kedatanganku sore itu ingin bertemu dengan bapak kepala desa. Belandingan kini bisa dijangkau melalui dua jalan. Dari barat di pinggir tebing adalah jalan bekas sungai kering. Dan di timur ada jalan baru yang dibuat pemerintah. Kali ini aku ingin mencoba jalan baru itu, tak ada salahnya. Selang 15 menit meniti jalan yang menanjak dan menikungsangat tajam, aku sampai di pinggang bukit melewati 'bubung' dan berbelok kiri menuju desa Belandingan. Pemandangan perkampungan di bebukitan hijau di kejauhan cukup memberikan penghiburan.

Seorang lelaki paruh baya, telah menunggu kedatanganku di depan balai desa. Ia menjabat tanganku dan mepersilahkan aku masuk ke ruangan kantornya. bangunan sederhana dengan cat warna hijau dan rak-rak tua berjejeran. Aku dipersilakan duduk di sofa berbalut bludru kumal. Dan menanyakan apa gerangan tujuan perihal kedatanganku sore ini.

Sebelum beliau pusing dengan bahasa basa-basi kaku acara pemaparan proposal, aku memperkenalkan diri dulu.
"Saya Putu pak, anaknya pak mantri di Songan!"
....whaaat........
Bapak kepala desa kaget! (Tuh kan! Apa aku bilang.)
"Bapaknya Pak Putu tiap hari datang ke desa kami. Wah tanpa beliau, kami pasti akan kesusahan jika ada warga kami yang sakit. Wah senang sekali Pak Putu datang kesini. Pak Putu dulu saya tahu waktu masih kecil saja, sekarang sudah segede ini. Kemana aja?"
(Ia memanggil aku bapak,....... :) oops...... )

Terpaksa deh, maunya langsung ke pokok permasalahan untuk meminta tanda tangan beliau, malah mengawali cerita sore itu dengan memberi jawaban pertanyaan kemana saja aku selama ini. Segeranya, lalu aku mempersiapkan kejutan buat beliau, bukan pakaian baru bukan juga HP bekas yang aku berikan untuk jadi 'suap' untuk mendapatkan tanda tangannya, aku mengambil foto-foto anak-anak Belandingan yang telah aku ambil selama dua tahun lebih. Ya, dua tahun belakangan, setiap aku pulang liburan kembali ke keluargaku tercinta, aku menyempatkan diri sekedar bermain bersama anak-anak Belandingan, tentu mengambil foto-foto mereka. Aku masih ingat sekali waktu itu, mereka mengajakku pesta nangka sepulang mereka sekolah. Ya, disini banyak pohon nangka tumbuh. Nanti akan aku ceritakan lebih jauh.

Wah, tampaknya beliau sumringah. Beliau mulai membuka lembaran pertama, melanjutkannya ke lembaran berikutnya, dan sampai lembaran terakhir. Suasana berubah hening mendekat pilu. Wah perasaanku mulai tak enak. Bapak Waris memandang aku dengan tatapan mata tajam, kemudian melunak. "Pak putu bisa menangkap kehidupan anak-anak kami sedetil ini?" beliau benar-benar kaget. Beliau benar-benar tak sangka. Sembari melihat-lihat wajah polos anak-anak.

Ternyata beliau nggak tahu aku sudah sejak lama sering bertandang ke desa Belandingan, ikikik.... bertemu dengan anak-anak, bertemu dengan kerabat Bapakku, pun juga karena memang aku terikat rindu dengan desa ini sejak dulu dimana seorang kakek tua dari desa belandingan sering berkunjung ke rumahku dan mengerjakan apa saja yang bapakku suruh..

Sering kali aku dipertanyakan perihal kenapa sampai aku sebegitu tertariknya dengan desa ini oleh orang-orang yang tinggal di desa di bawah? Sering kali aku ditanya orang-orang dan kerabat di desa Songan, ketika terlihat melintas "Mau kemana Tu?"...

Sambil menarik kencang gas motorku mengenakan jaket parasut tebal aku menjawab "Ke Belandingan...!" dan mereka saling bertatap muka satu sama yang lain.... "Ngapain tuh Bli Putu kesana?" dengan tanda tanya besar menggelayut di kepala mereka. Sekali waktu aku sempat menginap di desa itu satu malam, semua orang mulai was-was termasuk bapakku. Dimana nanti aku mandi? dimana aku tidur? dimana aku makan? kemana aja disana? ngapain aja? ngapain nginep? dan masih banyak lagi tanda tanya yang lain. Maklum saja selama ini Belandingan hanya dikenal sebagai penyuplai buruh penggarap tani bawang di desa Songan yang lebih subur dan terletak di pinggir danau.

Ok. kita kembali ke proposal, Beliau mulai membuka lembaran-lembaran proposal namun ia melewatkan puluhan halaman awal, langsung menuju kolom kosong dimana telah disiapkan untuk beliau tanda-tangani. I Wayan waris, begitu ia menulis namanya, dan mengambil stempel yang telah ia siapkan di kantongnya. Jepret! (siap, proposal ini sudah ditandatangani, aku siap bertemu pak gubenur besok.) aku lega. jalinan jiwa antara kami dan anak-anak ini telah terikat dalam stempel, tanda tangan dan tulisan tangan I Wayan Waris ini.

Entah kenapa, beliau memandang lagi kepadaku dengan tatapan mata tajam dan kemudian berubah kosong. Beliau mulai kehabisan kata-kata, namun tetap ingin bicara kepadaku walau dengan kata-kata tertahan beliau mempersilahkan aku pulang. "Saya tak bisa berkata-kata lagi. Saya tak bisa menyampaikan lebih banyak hal lagi kepada Pak Putu. Kata-kata sudah tak bisa mewakili perasaan saya saat ini. Saya masih tak percaya bahwa Pak Putu sudah bersama kami selama dan sejauh itu. Terimakasih banyak. Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih, bahwa masih ada yang mau peduli dengan kehidupan kami, khususnya anak-anak kami di Belandingan!" ia menarik nafas panjang.

Ia melanjutkannya lagi: "Sebenarnya kami, khususnya saya sebagai aparat desa memiliki keinginan besar untuk mengangkat desa ini dari jurang ketertinggalan, tapi saya memiliki kendala utama, kami tidak memiliki SDM yang cukup untuk membantu saya memikirkan masa depan desa kami. Ini adalah betul-betul kejutan bagi kami. Saya hanya bisa mengucapkan terimakasih. Apapun yang Pak Putu butuhkan dari kami, tolong sampaikan kepada saya, nanti akan saya bantu." Sebagai salam penutup, beliau menyalami tangan saya kembali dan memberi pesan "salam buat Bapak!"

Sebelum pergi, aku memberikan tas blacu yang tadi aku pakai untuk membawa proposal kegiatan Anak Alam itu kepada beliu. Setidaknya, ada yang bisa aku tinggal, dan berikan sebagai kenang-kenangan pertemuan pertama kami itu, tentu dengan tulisan Anak Alam tercetak diatasnya.

Aku masih merasa aneh berada disitu. Aku juga masih tak percaya kenapa aku ada di situ dan memikirkan mereka. Pertanyaan yang tak perlu aku jawab!


aku bersama bapak I Wayan Waris kepala desa Belandingan saat Green Camp.


copyrighted: pande
belandingan
suatu ketika...
part 3, memoar anak alam

0 comments:

Post a Comment