7:10 AM

bali: made in washington


sensasi glo-BALI-sasi


Mentari pagi masih bermimpi. Pasar Badung pagi itu telah ramai oleh pembeli. Terlihat seorang kakek tua sedang duduk menunggu pembeli diantara pisang jualannya yang sebagian telah matang dan sebagian lagi masih mentah dalam dua keranjang anyaman bambu, sedari tadi belum dihampiri pembeli.

Persis di sebelah tempat kakek tua itu berjualan, terdapat penjual buah yang memajang berkardus-kardus buah impornya dikemas dalam bungkus-bungkus plastik merah di atas dipan terlihat 'cantik-cantik' secantik wanita yang sedang menjaga lapak itu. Penjualnya adalah seorang ibu muda, bau wewangian parfum membiusku dari keajuahan tertiup angin pagi, seuntai kalung emas berat melingkar di lehernya dan puluhan gelang emas kecil-kecil melingkar di tangan kanannya. Ia dibantu oleh beberapa pegawai menimbang dan membungkus pesanan pembeli yang pagi itu sangat ramai.

Tampak buah apel Washington, pear Guang Dong, kiwi New Zealand, jeruk Mandarin, jambu Bangkok. Disana juga juga dijual kue-kue apem dan bolu black forest dengan hiasan cokelat Swiss. Di dipan yang ada di sebelahnya, berjejer tumpukan janur-janur yang baru tiba dari Banyuwangi.

Hingga siang bapak tua itu pulang membawa tumpukan pisang dalam dua keranjang anyaman bambu dengan sepeda gayungnya tanpa membawa uang sepeserpun buat istrinya yang sedang menunggu di rumah.

Bukankah upacara yang setiap hari dilakukan oleh orang Bali seharusnya secara ekonomis bisa memberi manfaat kepada orang-orang Bali seperti kakek tua itu?

Ini zaman baru. ini zaman kontemporer. Dengan buah-buahan dan janur itu nanti orang-orang itu akan membuat sesajen made in luar negeri di rumah. Belum lagi ayam boiler dan uang kepeng diganti dengan uang kertas seribuan, untung saja bukan dolar?

Ini cerita lama, ketika waktu itu burung tekukur masih biasa berbaur mencari sarapan pagi di halaman rumahku, ketika tanah-tanah sawah belum ditanami beton untuk ruko; sebagian orang masih menghasilkan sendiri kebutuhan hidup mereka: beras, pisang, kelapa, janur, ayam kampung.

Maka sesaji sebagai wujud persembahan bhakti yang tulus ikhlas orang Bali, isinya tak jauh dari benda-benda tadi itu: bunga, janur, daun pandan harum, buah pisang, ayam kampung panggang, kue apem, plus rasa bhakti yang TEBAL sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Pencipta atas segala yang telah Ia buatkan buat kehidupan manusia. (aku nggak peduli bagaimanapun kita menggambarkan Pencipta itu, bagiku tak masalah).

Begitulah, ini pertanda zaman yang tidak kita bisa hindari termasuk dalam hal sesaji / persembahan suci yang tulus ikhlas. Sekarang zamannya glo-BALI-sasi, manusia hidup pada zaman industri yang serba instan, bukan lagi menghasilkan padi, tapi dolar. Masih untung, banten itu tidak diganti dengan selembar 10 USD itu saja. Itulah -seperti kata Charles Darwin- Evolusi! Hanya dua yang pasti di dunia ini, kematian dan perubahan. Tak kan aku pungkiri. Selama kau masih ingat Tuhan. :) (sekali lagi bagaimanapun kau membayangkan-Nya tak masalah!)

Tapi sebaiknya ada SATU hal yang tidak harus kita ubah: esensi sesaji itu sendiri. Esensi bhakti itu sendiri. Tulus! Tulus dalam berdoa, tanpa itu kita menipu orang lain, Tuhan, dan diri sendiri. Ritual hanya sekedar ritual jika tidak pernah dimaknai dan diamalkan.

Tentu jangan lupa juga, leluhur kita seniman bro. mereka punya prinsip "whatever you do do it in style! Whatever you do do it as a devotion!" sesaji juga untuk membiasakan kau mencintai seni, yang dinamis, yang persembahan, yang tak kaku, yang cantik.

Tulus! Persembahkanlah semua yang kamu ingin persembahkan dengan tulus. Mau apel Washington atau buah mangga dari kebunmu sendiri, sama saja. Kemudian, ada yang ambil mudahanya saja beli saja sesaji (canang), beli saja sesaji (banten) di tukang buatnya. Silahkan saja, toh itu juga memberi kehidupan buat orang lain. Walau (barangkali) sebenarnya kita terlalu malas atau sibuk, ya sudahlah. Padahal dalam masa membuat sesaji itulah esensi terbesar sesaji ada. disitulah orang bali bermeditasi waktu selama hidupnya.

Bhakti. Itulah esensinya. Kemudian ikhlas! Banyak sekali, terlalu banyak saya dengar ibu-ibu dan bapak-bapaknya yang MENGELUH, "terlalu banyak upacara di Bali, ya adat ya rerainan.....!" sampai membuat mereka pusing sendiri. Mereka saja yang memusingkan diri, menuntut agar membuat sesaji made in Washington terus, keluar uang banyak untuk yadnya, malu dengan tetangga-tetangga.

Malu? Apa Tuhan pernah memintamu untuk malu datang kepadaNya? Buat sesaji penuh dengan buah-buahan impor? Okelah, setidaknya kita jadi sehat karena sering makan buah apel. Ambil sisi positifnya saja.

Namun satu hal, ada hal yang paling mendasar yang sering kita 'lupa'-kan. Setiap saat kita melakukan ritual, setiap saat kita berdoa, tapi dalam kehidupan nyata kita tidak pernah mempraktekkannya. Menjelekkan orang lain, membaikkan diri sendiri, gila pujian, suka marah-marah, selalu mengeluh, korupsi uang negara, suka pamer, gengsi, mana itu esensi yadnya yang telah kau persembahkan?

Malah sekarang keterikatan kita akan keduniawian itu terlalu TEBAL. Selalu ingin terlihat lebih walau dengan cara apapun. Tiap saat kita berdoa, tapi tiap saat kita berdusta, dalam tindakan! Kadang sering kita begitu dungu bahwa hanya dengan berdoa semua urusan dengan Tuhan kita anggap sudah selesai? Tuhan tidak buta, hati kita saja yang buta! Bahwa kita hidup di dunia nyata, dan banyak juga hal-hal nyata yang berharga.

Dari hari ke hari kita merasa telah menjadi manusia paling berpahala karena semua ritual, doa (dan fanatisme, apapun itu bentuknya.) Seperti budayawan M. Sobari pernah bilang, padahal doa dan sekedar doa tidak akan pernah bisa merubah dunia!


copyrighted:
pande
bali
sore ini

kek, suplay ke supermarket saja besok pisangnya!

0 comments:

Post a Comment