8:12 AM

Kartupos dari Surga: Kartupos untuk Ayah (2)



Selama aku bertemu dengan anak ini, ini kali pertama aku lihat made ratih tersenyum. Aku telah mencoba membolak-balik semua file, melihat-lihat lagi semua foto anak-anak, hanya dalam foto kali ini, senyum made ratih mengembang lebar.


Tak kusangka, perjalananku walau baru beberapa hari, namun ia memberi jauh lebih dari apa yang aku kira. Dari gubuk ni made ratih- di atas bukit batu barak, sekarang aku dapat memahami kenapa siddharta gautama memilih untuk menjadi Buddha, keluar dari istana. Kenapa pula Mahatma Gandhi memilih untuk menjadi orang biasa untuk membebaskan India. Banyak (terlalu banyak) kehidupan orang di luar sana yang tak kita bisa lihat jika otak, pikiran, hati, dan tubuh kita terbatasi tembok rumah yang sempit, yang membuat kita lena namun merasa sempurna. Cahaya lampu telah menyilaukan mata kita hingga kita tak bisa lagi mengenali mana bintang mana kunang-kunang.

Hari ini aku sengaja menghabiskan waktuku menemani made ratih di ladang seperti janjiku semalam. Hari ini pula betapa perjalanan ini -yang ternyata telah dikerjakan oleh orang tuaku sendiri sejak lama-, (nah lo.). Ya, bapakku sendiri yang telah lebih dari 40 tahun naik turun desa-desa di bukit dalam tugasnya sebagai paramedis di kampung terpencil ini ternyata telah menjadi ‘living hero’ bagi mereka. Seorang kakek tua menghentikan perjalananku dan mengenali aku anaknya Pak Mantri tanpa sekalipun aku mengenal wajahnya.

Ia memberi pesan dengan bahasa belandingan kepadaku, “Bes keberatan anake keto, dangin desa, delod desa, waiiih…… mekencang-mekencang, kayang itungane mekencang-kencang. Ngitungan dangin, dauh. To keberatane.” ("bapak itu bekerja sangat keras, timur desa, barat desa, fiuhhh….. semua saling tarik-menarik tangannya, seperti pekerjaannya juga begitu. Memikirkan timur, barat. Begitulah ia bekerja sedari dulu hingga kini."). Setiap orang-orang tua, kakek, nenek, keluarga yang aku temui bercerita bahwa sering beliau dibonceng oleh warga dengan sepeda motor ke jalan tanah yang aku lalui tadi untuk mengobati warga-warga yang sakit, yang tinggal menyebar di punggung-punggung bukit (tak bisa kubayangkan??? bagaimana ia bisa melakukan itu, se-lama itu. note tentang ia aku tulis terpisah)

Perjalanan siang ini kami mulai seperti janji semalam adalah sepulang made ratih dari sekolah. Jam 12 lebih lima menit, ratih dan ketut catri beserta wayan kerani telah menungguku di depan rumahnya. Mereka bertiga tampak bersemangat karena kali ini ada aku ikut dalam rombongannya. Barangkali mereka butuh hiburan dalam perjalanan mendaki setapak bukit batu barak, atau mereka sudah siap dengan pose foto andalannya, karena mereka tau persis aku selalu pergi dengan kamera poket (sahabat karibku).

Di tengah perjalanan menyusul ada dua orang anak lain yang juga akan pergi ke ladang, dan lengkaplah 5 pahlawan kecilku hari ini.

Kebanyakan ladang penduduk desa terletak di punggung bukit yang mengitari sisi timur desa belandingan. Batu barak bisa ditempuh melalui jalan setapak di timur desa, kemudian menelusuri bukit hingga sampai di bubung. Ambil jalan setapak yang ke kiri di persimpangan bubung, telusuri setapak kecil menurun itu, itulah ladang milik ibu made ratih.

Setiba di bubung, tanpa komando mereka langsung berlarian menuju gundukan karung-karung plastik yang berisi pupuk kandang. Semetara dua anak yang tadi ikut serta dalam rombongan kita pergi ke gubuk mereka. Catri dan kerani mengambil karung itu duluan untuk mereka junjung menggunakan kepala, untuk dibawa ke ladang, dimana ibu ratih dan keluarganya sedang menyiangi tanah ladang.

Untuk anak seumuran ratih, aku yakin karung yang berisi pupuk kandang itu pastilah berat. Ia tampak bersusah payah memindahkan karung plastik itu ke kepalanya, hingga mencoba dua kali (dan akhirnya harus aku bantu). Sementara catri dan kerani telah terlebih dahulu bisa mengangkat karung plastik itu sendiri.

Catri dan kerani berlarian menelusuri jalanan menurun itu, sementara ratih berada di barisan paling belakang, sebelum aku.

berkenalan dengan keluarga mereka sungguh sesuatu yang menyenangkan siang itu. sontak semua menghentikan kerjanya sejenak menghampiri aku, dan mempersilakan aku untuk duduk menunggu di gubuk saja, bukan di ladang. mereka takut aku kotor lah, merasa tak sopan lah, dan banyak (-lah) yang lain, seperti biasa. yah, demi menghormati mereka yang menghormati aku, aku turuti keinginan mereka kali ini.

sudah kusangka, ini akan jadi hari sakit perut lagi. Ibu made ratih menanakkan air hujan di ketel dengan tungku api, membuatkan aku kopi, air gula, bahkan menghidangkan nasi. "ini waktunya makan siang pak putu, pastilah pak putu sudah lapar. apalagi tadi habis naik jalan di bebukitan. marilah, mahaf hanya seadanya. (nasi ini isinya sambal pare dan kerutuk jagung.., tentu sayur jipang:) ). "Wah ibu, saya merepotkan sekali. terimakasih banyak." Ia tak suka aku berkata demikian, "kami yang harus berkata demikian, telah merepotkan pak putu oleh anak-anak kami"

siang itu, setelah beberapa kali bolak-balik mengangkut pupuk dari bubung ke ladang, akhirnya anak-anak disuruh menemani aku bermain, melihat-lihat sekitar, mencari buah nangka seperti biasa (buah nagka tlah menjadi makanan pokokku seminggu ini). aha, ini menjadi hadiah tak terperi.

tahukan anda legenda SHAMBHALA di tibet, pegunungan himalaya. konon disebuah tempat yang masih diteliti kebenarannya hingga kini oleh para ilmuwan, ada sebuah tempat yang maha indah, dan di tempat itu waktu berjalan sangat lambat sehingga semua penduduk di sana awet muda. dan, sepertinya jika saja di belandingan ada legenda yang sama, aku pastikan aku telah menemukannya. aku sebut ia dengan nama RED STONE HILL (biar sedikit serem..hehe..)

aku terpaksa pulang duluan, sehubung ratih dan ibunya masih harus bekerja, aku ditemani keranyi dan lanying untuk turun kembali ke belandingan, menyelesaikan dan merapikan file-file baruku lagi.

GOD. thanks for the moment. i was just enlightened.


Terimakasih buat kawan-kawan yang telah memberi respon terhadap note made ratih sebelumnya. Betul, ia tak hanya membutuhkan simpati, tapi bantuan nyata. Saya pikir tak susah rasanya masing-masing dari kita menyisihkan gaji, uang makan, tabungan kita Rp.10.000 / bulan untuk kita jadikan beasiswa untuknya, bukan? Dan jikapun itu masih memberatkan, mohon kabarkan kepada orang lain, dengan ini pula kalian telah berbagi kesempatan untuk memberi. Saya percaya itu sudah merupakan usaha yang sangat bernilai.


(aku menulis setengah bagian dari note ini malam ini dari rumah made ratih, dan sampai jam 7:00 pm sekarang ia belum pulang dari ladang.)


love,
pande
belandingan, jan 12

0 comments:

Post a Comment