7:09 AM

Karam (the lost paradise)

PROLOG: untuk buyan

courtesy: photo.net


Setelah semua hutan telah ditebang, semua sungai teracuni, dan semua ikan kau tangkap, maka uang tak kan berarti apa-apa.
-indian cree prophecy


Masih segar ingatan saya melewati jalanan bersih dan lebar di Vientiane – Laos kala itu, kembali mengingatkan saya romantisme keindahan pulau Bali puluhan tahun lalu ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Suara alam masih bisa saya dengar! Masih segar pula terekam di mata saya sebuah film Bali eksotis tahun 1930-an dari sekeping VCD, tak butuh 70-an tahun ia telah menjadi Bali modifikasi model baru.

Masih segar pula ingatan saya 3 tahun lalu ketika saya menolak untuk bekerja di luar negeri, memilih untuk kembali pulang ke kampung halaman saya, Bali, tempat lahir yang sangat saya sayangi, hanya karena kerinduan saya yang begitu besar akan kehidupan, alam, budaya dan segala ke-Bali-an yang pernah saya kecap dulu itu.

Dan kini ketika kepercayaan, kecintaan, kebanggaan itu memudar, luntur, saya merasa ’berdosa’ kepada diri saya sendiri, walau langsung saya maafkan..... Denpasar hiruk-pikuk, macet, dipenuhi manusia, kendaraan, ruko, nyamuk demam berdarah, anjing rabies, maling, masalah, banjir. Walau ketika sore hari lapangan Renon masih sedikit menghibur saya dengan rumput hijaunya, dan pedagang pepaya, jagung bakar dan kacang rebus yang selalu main kucing-kucingan dengan tibum.

Bali telah disulap menjadi luar negeri. Bali dikirimi binatang Afrika, orang utan, gajah, buaya, unta, dan sawah dibuatkan taman buaya dan binatang seolah bali butuh itu? Mall dibuat mencaplok pantai, klub-klub internasional, banyak yang seolah ingin menjadi pahlawan kesiangan, setelah (konon) mengeruk ‘isi perut’ pulau yang kecil dan mungil ini.

Siapa itu orang Bali?

“Siapa itu orang Bali?” Saya bertanya dalam hati. Karena sebagian pulau ini sudah tak bisa saya jejaki lagi. Uang telah menjadi Tuhan! Merubah manusia menjadi hantu. Masih segar pula dalam ingatan saya cerita para nenek moyang kita membangun kebudayaan dan peri kehidupan di pulau mungil ini dan kini malah tulang-tulangnya yang mengabu di laut, danau, tanah kita gadaikan atas nama Tuhan baru : Uang! Tri Hita Karana hanya pemanis bibir, gincu, esensi sejatinya tak pernah dijalankan! Hanya nama penghargaan lomba-lombaan hotel!

Sebegitu naifkah orang Bali? Dan siapa itu orang Bali? Masih saya pertanyakan dalam hati. Karena ia yang mendiami pulau ini tak peduli! (mudah-mudahan saya yang salah!) Selama ini kata-kata telah tertiup angin dan menjadi angin lalu. Anjing menggonggong, khafilah berlalu. Anjing ompong, biarin aja disitu. Manusia telah mati rasa dan buta hati. Dan manusia, telah menjadi ’binatang’ yang paling buas di bumi. Budak paling takut kepada ’Tuhan’ uang.

Masih segar ingatan saya janji-janji di papan baliho caleg, rebutan menjaga Bali (katanya), sekarang mana suara mereka? Semua bisu, apa memang bisu? Ketika berniat saja menjadi caleg seharusnya telah memiliki mental dan mulut ber-api yang digerakkan oleh otak berisi. Bicaralah, jangan bisu pun tuli!

Pemerintah? Siapa itu pemerintah? Memerintah atau melayani, ngayah atau ngamah? Demo tak menyelesaikan masalah, panas hati membakar diri. Masih berharap, pasti selalu berharap, karena saya masih percaya manusia masih punya hati. Semoga saja mata dan hati mereka terbuka, dan berani membuka diri. Pulau kecil ini bukan mainan.

Sesungguhnya Bali Tak Pernah Belajar!

Bali, Bali, Bali. Sebuah pulau yang tidak pernah percaya diri. Para eksekutif dan legislatif sudah sering berkunjung kerja keluar negeri (katanya), lalu apa yang mereka bawa pulang. Kemajuan, masa depan, kemunduran? Mereka semua mungkin, ’mungkin’ acuh toh ketika mereka diganti mereka sudah kenyang biarkan yang baru giliran peduli. Sesungguhnya, Bali tak pernah benar-benar belajar! Dari negara lain, dari masa lalu, dari masa kini, padahal semua merasa terpelajar! Lihat saja janji-janji di baliho, masih segar dalam ingatan saya!

Bali, Bali, Bali. Shanti, Shanti, Shanti. Sekedar slogan, dan proyek menghamburkan uang. Bali shity, shity, shity, pernah saya baca plesetan branding Bali itu di sebuah blog internet. Tentunya saya miris, tentunya harga diri saya merasa terinjak. betul. Tapi setelah saya lihat dengan mata kepala sendiri, saya rasa, saya olah pikir, Bali saya saat ini, saya harus rela menerimanya dengan lapang dada.

Saya ingat satu kutipan Mahatma Gandhi “Bumi telah menghasilkan cukup untuk setiap orang, tapi tidak cukup untuk orang serakah.”

Kelak semua dari kita akan benar-benar memahami pesan itu, ketika tulang-belulang kita sendiri yang harus digadaikan untuk uang! Good bye!


cinta,
pande
bali
malam ini

”Bumi ini bukan milik manusia, tapi manusia milik bumi!”
-sitting bull

0 comments:

Post a Comment