5:51 AM

Hilang Menemukan Jalan



Jangan sebut ini hari pertama saya hilang, aku tak suka kata itu.
Sebut ini hari pertama saya hidup.


Beberapa hari ini, banyak kawan-kawan bertanya tentang keberadaanku. Dimana Pande? Apakah ia baik-baik saja? Sedang yang lain mengirim pesan singkat ke HP-ku, 'aku kangen tulisanmu, take care ya.'

Hehe,… guys, pande baik-baik aja (sepertinya). argh, demi kalian juga akhirnya aku keluar dari sarang pertapaanku kini. I'm back 100%. Beberapa minggu ini aku hanya sedang soliloquy –bercakap-cakap dengan diri sendiri- tentang kejadian-kejadian beberapa minggu belakangan. Ini hidup bro, kadang senang kadang sedih. Kadang pagi kadang malam. Kadang hitam kadang putih. Kadang api kadang es. Kadang panas kadang hujan seperti beberapa hari ini. Namun satu yang pasti selalu saja ada bunga tumbuh setelah badai lewat, jadi tak ada yang perlu ditakuti kan? Siklus itu juga tak luput melewati jalan yang aku lintas.

Aku adalah pohon oak seperti So Hok Gie, yang biasa menantang angin, tanpa takut patah, tetap menjulangkan dahan dan ranting tinggi mencium hangat mentari pagi. Namun ini masalah hati, seperti kata guru 'gila'-ku yang juga om-ku Pande Ketut Taman dulu di Studio Taman Jiwa, Muntilan "biar kata biksu, penyair, jika hati yang kena rasain, mereka juga manusia biasa." wakaka…. Dasar guru bodoh.

Hari ini aku sungguh bahagia. Aku keluar pertapaan sejenak untuk berucap salam kepada kalian, "hellloooo......" namun sayang seribu sayang, mahaf sejuta mahaf itu berlaku hanya beberapa hari. Maaf, segeranya aku akan hilang lg. Sekali lagi ma(h)af kawan. Ini adalah hari besar buat aku. Bukan karena baru saja habis tahun baruan, bukan karena aku sedang ultah, bukan karena aku dapet pacar baru, bukan karena aku baru beli mobil, bukan!

Hari ini, kesempatan langka itu datang lagi. Setelah sebelumnya ia datang beberapa kali dan aku lewatkan. Hari ini bumi membuka lebar tangannya, membawakan lagi apa yang telah ia bawakan kala itu berkali-kali. Ada mentari pagi yang hangat, ada serta anak-anakku di bukit yang sedang tersenyum, teriakan dan lambaian tangan mereka dari kejauhan memanggil-manggil namaku. Mereka mengajakku tinggal lebih lama. Berbagi cerita menjelang tidur, atau bermain lebih lama. (ini bukan mimpi)

Seperti tahun-tahun sebelumnya kesempatan itu selalu siap datang dan terlalu sering aku sia-siakan, dengan berbagai alasan. Masih sekolah lah, sibuk kerja lah, sok sibuk pacaran lah.

"Dan kali ini nak, kakak tak kan menyia-nyiakan kalian lagi. Kakak hanya milik kalian. Kakak akan menemani kalian hari ke hari, memberi kuping, mata, dan hati kakak untuk mendengar mimpi-mimpi kalian." Ya, aku baru saja memutuskan untuk tinggal bersama anak-anakku, berbagi hidup bersama-sama mereka, dan merasakan apa yang mereka rasa semenjak pagi hingga petang, bercerita keluh kesah sebelum tidur, tinggal di kampung suci ini lebih lama.

Meninggalkan pekerjaan dengan status dan gaji cukup, meninggalkan kawan-kawan yang saban sore biasa aku ajak main bola bareng di lapangan Renon, meninggalkan jogging track yang selalu aku jejak saban sore sembari menghirup udara pantai di Pantai Sanur. Aku jamin ini adalah salah satu keputusan besar, yang pasti ditolak oleh ibu, bapak, sahabat, (calon mertua), dan hampir semua orang. "De, lu gila!" hampir semua berkata demikian, kecuali diriku sendiri. Namun sekali lagi petuah bijak dari om seniman gila itu berkelebat, "bersyukurlah jika kau masih dibilang 'gila', hanya karenanya kau masih bisa disebut seniman, bayangkan jika kau dikata waras, maka dunia akan flat, datar, ya gitu deh, apa yang lu sudah lihat sekarang, nggak seru."


*

Uahm,… jam casio hitam di tembok baru menunjuk angka 6. Sebetulnya aku masih sangat malas untuk bangun. Wajar saja, hujan semalam mengguyur Seminyak laneway dengan deras. Ketukannya lebih ngerock daripada lagu Serieus atau The Rock sekalipun. Hawa pagi mengunci lamunan. Aku berusaha membuka kelopak mata yang masih terasa berat, dan hangat bantal empuk ini lebih memikatnya untuk kembali tertidur. Aku coba lagi dan begitu lagi.

Dan ketika aku teringat hari ini -seperti janjiku pada diri sendiri- aku akan mengambil kesempatan itu, aku segera menarik selimut yang membalut kaki dan badanku, seperti tersengat senyum, aku melemparnya menjauh dari badanku. (bangun de!). Dan aku seperti biasa memulai ritual pagiku dengan mengambil segelas air putih. Meneguknya, meneguk senyum ‘buddha’. Ya, aku lebih suka kau sebut ini hari pertama aku hidup.

Hari ini aku bersiap memulai perjalanan panjangku ‘'Hilang menemukan jalan.' Menulisi kata awal dari bab ke-3 buku kehidupanku (adakah kau mau ikut serta disini?) yang aku tulis dengan tanganku sendiri, seperti juga kau menulis buku kehidupanmu sendiri.

Oh,.... jika kau dedaun rumput, yang lembut dan terlihat lemah namun kuat menerobos tanah keras, dan tak pernah mengeluh menahan jejak-jejak kaki, atau bunga kenanga hingga kering bawa harum indah dalam diri, atau gemintang yang memahami mimpi-mimpi tanpa tanya, walau kecil dan jauh sekalipun sinarmu abadi, maka pintu kampung suci ini terbuka lebar untuk kau tinggal bersamaku selamanya disini, menjadi malaikat bagi anak-anak? (hihihi....)

Perjalanan ini tampak seperti sebuah 'kecelakaan waktu' saja sepertinya, atau sebuah kebetulan yang mesti ia mulai hari ini. Namun aku lebih suka mengatakan bahwa perjalanan ini sejatinya memang sudah diatur waktunya secara presisi oleh yang punya semesta, dan ia adalah hari ini. Percaya atau tidak, sepertinya tak penting lagi, karena hari ini perjalanan itu sudah aku mulai. (tak untuk didebat dan dipikir.)

Aku menghidupkan sepeda motor Honda Supraku, (baru sadar ia kehujanan semalam), mencoba dengan starter kaki, syukur ia mengikuti keinginan semesta, tak mogok, siap untuk menghantarku ke kampung suci ‘menghilang’ lagi.

Ya, petualang sejati akan berangkat dengan kendaraan apa saja. Kijang yang selama ini setia menemaniku sudah jadi tiket pesawat return Ngurah Rai-Hong Kong-Vancouver-Victoria kala itu saat aku sekolah ke luar negeri. (masih banyak cewek tak matre kan... hehe…)

Tak lupa berhenti sejenak untuk beli 3 jeruk keprok mandarin lukam di Indomaret seharga 6.107 perak. Terdengar lagu Peterpen dari speaker yang ditempatkan di pojokan toko mengalun:
'berjalanlah walau habis terang.. ambil cahaya cinta kuterangi jalanmu....'

Ah, mbak yang jaga toko pagi ini tahu aja memutar lagu yang tepat.


copyrighted: Pande
belandingan, jan 05
start to conquer the self...

'pemenang sejati bukan ia yang telah memenangkan 1000 pertempuran, tapi ia yang memenangkan dirinya sendiri.'

0 comments:

Post a Comment