6:04 AM

Bangun, Buka Mata, Lihat Dunia (TM)

tour de ubud


Kami lahir untuk melihat bumi yang indah,
bukan bumi yang penuh dengan tanah, air, udara, kata, pikiran, dan perbuatan kotor.



Bagi orang-orang yang pernah tinggal dan hidup di kota seperti kita, -sepertiku-; ketika kini untuk beberapa saat aku berkesempatan tinggal dengan anak-anak kampung ini di rumah-rumah mereka, sangat naïf rasanya jika hanya aku atau kalian yang bisa melihat dunia luar.

Sebagai 'world’s best island', sangat bodoh rasanya jika pulau kecil ini hanya bisa dikunjungi oleh turis-turis mancanegara, turis-turis domestik, dan orang-orang berduit saja, sementara orang-orang bali sendiri, seperti anak-anak ini hanya bisa menontonnya dari televisi sambil menghayal “dimanakah gerangan tempat wisata indah itu, dimanakah pantai kuta itu, dimanakah denpasar itu, dimanakah negeri dongeng itu?” yang ternyata jaraknya tak lebih dari satu jam perjalanan dengan kendaraan dari kampung mereka di atas bebukitan. Dan mereka barangkali mereka tak sadar bahwa sebenarnya mereka mendiami pulau yang sama, ya pulau wisata impian itu.

Bali pulau kecil bro, menjelajahi ujung selatan pulau dari bebukitan ini menghabiskan waktu tak lebih dari dua jam dengan kendaraan dari kampung ini, begitu juga pesisir utara. Betul kan, akan sangat bodoh bin idiot rasanya jika seumur hidup, mereka selamanya hanya bisa menjadi penonton televisi saja (itupun kalau di rumah mereka ada televisi) menyaksikan kota yang katanya ‘surga’ dan ‘gula’ itu. Saban hari dan selamanya bermain dengan sapi, ayam dan mendaki bukit untuk menuju ladang. Minum air hujan. Sarapan bubur dadong Jero Guris. Jangan menghayal mereka pernah makan Mc.D, KFC, Pizza Hut, Dunkin Donnuts, apalagi Hard Rock Café. Atau bermain ke Taman Safari Bali, Water Boom Park, atau setidaknya melancong ke Tiara Dewata, Ramayana dan Matahari walaupun tak untuk belanja.

Jangan pula tanya bahwa orang tua mereka akan memikirkan hal-hal konyol semacam plesiran sementara kebutuhan primer mereka untuk makan saja telah membuat pusing saban hari.

Kedua mataku dengan kepala sendiri melihat kehidupan ini saban hari, dan jika aku hanya menonton saja, seperti sebuah pertandingan tak pernah jadi pemainnya, tentulah aku hanya dilahirkan menjadi manusia pelengkap saja di bumi ini, tentu juga secara resmi kau boleh sebut aku stupid idiot. Dan seperti biasa, kami tak kan diam, inilah yang kami bisa beri buat mereka, seperti biasa, hanya sesuatu yang sederhana saja.

*

Untuk itu ‘project’ anak alam yang berikut kami beri tajuk:
'WAKE UP, OPEN YOUR EYES, SEE THE WORLD'atau
'BANGUN, BUKA MATA, LIHAT DUNIA'.

Tujuan dari program anak alam ini adalah berbagi pengalaman hidup dan kesempatan kepada anak-anak miskin yang tinggal di kampung-kampung terpencil –seperti belandingan ini-, agar mereka bisa melihat dunia luar, mengalami pengalaman hidup yang biasa kita alami sebagai orang ‘kota’, melihat dunia lain, yang kami harap akan memperkaya pengalaman hidup mereka. Dengan melihat dunia luar setidaknya mereka paham bahwa banyak hal di luar sana untuk ditaklukkan selain ladang dan sapi mereka di belandingan.

Dan tentu juga sebaliknya, kami berbagi kesempatan anak-anak yang tinggal di kota untuk berkunjung ke kampung-kampung terpencil, melihat hidup dari sisi yang berbeda dan saling belajar. Seperti apa yang pernah dilakukan sekolak dyatmika denpasar yang suatu hari berkunjung dan bermain bersama anak-anak kami. (mereka semua kaget ketika ada anak-anak yang dekilnya seperti anak-anak belandingan ini, sementara mereka adalah anak-anak orang kaya.). Itulah esensi dari membuka mata dan melihat dunia.

Barangkali saja, pergi ke minimarket, supermarket, makan di restoran, melihat pantai, bermain ke dreamzone adalah hal yang biasa bagi kita, namun bagi anak-anak ini, semua itu adalah barang mewah, semacam mimpi setinggi gemintang di langit malam.

*

Hari ini, minggu, tentu adalah hari yang sangat menggembirakan buat anak-anak, karena hari ini salah satu atau dua dari mereka akan pergi ‘melihat dunia luar’ untuk pertama kalinya. Seperti janjiku saat malam-malam sebelumnya, seperti biasa, saat kami bermain dan mengadakan perlombaan, bahwa mulai hari minggu ini beberapa diantara mereka akan aku temani pergi ke tempat wisata, melihat super market (dan berbelanja tentunya.), makan di restoran, creambath ke salon, belanja, dan jalan-jalan tentunya, tak lupa bermain ke tempat mainan anak-anak di kota.

Kali ini tempat yang kami tuju adalah Ubud. Jarak tempuh dari belandingan sekita satu jam.
Ada Neka Art Museum, ada Bukit Campuhan, ada Monkey Forest, ada Blanco Museum, ada Banyak kawan-kawan kami yang memiliki hotel dan restaurant di sini. Aku harap kali ini mereka senang.

Minggu ini aku beri kesempatan pertama kepada dua asisten setiaku selama ini yang telah membantu aku banyak untuk mengetikkan tulisan-tulisan, menulis dengan tangan percakapanku dengan anak-anak, dan menyediakan tempat untukku menginap selama di belandingan. Mereka adalah –si bolang- Puspasena dan Wayan Mara.

Melewati jalan sebatu, kami mampir ke Gunung Kawi sejenak dan mengajak mereka melihat-lihat kolam ikan dan pemandian air suci. Terlihat ada beberapa turis sedang berada di sana saat itu, (aku suruh mereka berlagak seperti turis juga…)

Sebentar menghabiskan waktu di Gunung Kawi, kami memulai perjalanan di Ubud hari ini dengan langsung menuju Supermarket Delta Dewata untuk membeli makanan kecil untuk nanti kami makan saat di museum atau di bukit campuhan. Wayan Mara kegirangan ketika aku suruh mengambil keranjang belanjaan berwarna merah, berebutan ketika harus memilih makanan kecil dan minuman kotak, dan kebingungan ketika aku beri ia uang dan bayar di kasir. (semakin bingung ketika kembaliannya diberi permen.).

Ubud masih dua puluh menit lagi dari gunung kawi, kami berhenti sejenak untuk mengambil foto di sawah terasering ‘ceking’ tegalalang. Mereka tak terlalu suka sawah, barangkali mereka terlalu sering melihat rumput di bukit.

Selanjutnya kami menuju ke pasar ubud untuk membelikan mereka kaos sebagai souvenir jalan-jalan mereka hari ini, dan untuk kita gunakan jika ingin mengambil foto nanti.

Aneh, masih banyak juga orang yang phobia terhadap orang miskin. Saat aku sedang mencarikan kaos ‘I love bali’ untuk puspa dan mara, seorang ibu pemilik kios marah-marah ketika tumpukan kaosnya tersenggol sedikit oleh mara, dan membentaknya “awas dik, bajunya jangan disenggol, nanti jatuh…” sambil ngedumel dan buru-buru ia mengejar bule yang tadi sempat lewat di depan kiosnya. Memang sih bule itu banyak duit, tapi ka nada baiknya anak kampung yang tumben ke kota ini dihargai.

Anjing saja dibeliin kain linen harga ratusan ribu sebagai alas tidur dan diajak ke salon anjing, mereka manusia bu. Please perlakukan mereka sedikit manusiawi.

Oke, kita lupakan saja ibu itu, saat aku pergi dari kiosnya dari kejauhan -tanpa ia tahu- aku acungi jari tengah ke arahnya, sambil berdoa dalam hati. “semoga daganganmu laku bu, dan kau bisa kaya dan tak suka mengumpat-ngumpat lagi, duduk manis di rumah bersama cucu-cucumu, tak jualan lagi di pasar.” :)

Selanjutnya kami menghabiskan waktu cukup lama di Museum Neka, melihat-lihat koleksi lukisan Arie Smith, I Gusti Nyoman Lempad, Affandi, dan tentu karya kakakku di studio taman jiwa, Pande Ketut Taman juga terpajang disitu.

Wayan Mara terlihat pusing melihat ratusan lukisan-lukisan mahal koleksi Museum Neka, sementara Puspasena senyum-senyum saja menunggu difoto. :) dua pasang asisten yang aneh.

Puas berkeliling museum kami lanjut menghirup udara segar di Bukit Campuhan ‘ridge of love’. Bukit ini telah sebegitu terkenalnya sekarang untuk dijadikan ajang foto-foto oleh model-model picisan itu, tentu adalah tempat pacaran muda-mudi sembunyi di balik ilalang. Mereka berdua tampak senang berlarian, berlari dan berlari. Hingga lelah.

Selanjutnya kami menuju monkey forest melihat saudara-saudara tua kami disana, dan melanjutkan perjalanan melintasi jalan monkey forest yang sangat terkenal itu seterkenal Broadway dan Orchard Road di Singapura.

Kami pungkasi hari ini tentu dengan makan di restoran seperti jadwal yang kami telah tentukan. Namun menunya masih saja nasi goreng dan nasi soto, takut lidah mereka nanti keseleo jika dibelikan steak atau pizza.

Oh, iya, sebelum pulang kami menyempatkan diri bermain di Okezone yang bersebelahan dengan Supermarket Delta Dewata, mencoba beberapa permainan yang disuka oleh Mara dan Puspasena. Hari minggu ini ditutup oleh senyum dan tawa mereka bermain dan saling mengalahkan di arena mainan. Bukan lagi dengan bamboo, kayu atau rumput, tapi dengan bola basket, meja sepak bola, dan koin sebagai alat pembayarannya.

“Apakah kalian senang???”

Sekembalinya pulang ke belandingan, seperti malam-malam yang lain kami berkumpul, aku perlihatkan foto-foto mereka berdua di Ubud kepada kawan-kawan kecil mereka yang lain. Semua pada berebutan ingin melihat dari dekat seperti apakah gerangan ‘kota’ itu.

“Tuh kan, nak. Ada dunia di luar sana untuk kita taklukkan selain ladang dan sapi-sapimu… ”

"Sekarang waktunya kalian pulang belajar dan tidur. Minggu depan kita pergi lagi, tentu kesempatan harus dibagi ke teman-teman yang lain."



Semoga damai di dunia.

Love,
Pande
Jan 18
mari kita tidur, kakak juga butuh rehat….

0 comments:

Post a Comment