5:59 AM

Sang Legenda Hidup!

pak mantri sedang mengobati kaki seorang anak alam yang terluka.

Prinsip hidupnya adalah pengabdian tanpa batas waktu.
Jika saja surga itu ada, ia pasti telah menaruh satu kakinya disana.
- didedikasikan untuk Pak Mantri


Penampilannya biasa-biasa saja, namun ia adalah seorang legenda hidup bagi warga di kampung-kampung seputaran kaldera danau batur. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Kesederhanaan hidupnya tak berubah oleh waktu hingga detik ini. Walau alam di seputar telah banyak dan jauh berubah. Burung curik telah punah. Debit air danau menurun. Tepi danau dilapisi jelaga. Ia masih seperti dulu, mengenakan sandal karet merek Lily warna cokelat, celana kain warna biru, baju batik ungu, jaket kain tebal warna abu-abu, dan dengan tas kecil tempat menyimpan obat (ajaib)-nya. Ia ada di mana-mana, seperti angin.

Ia adalah seorang laki-laki tinggi berperawakan sedang berkulit sawo matang pemilik nama I Nyoman Sadia. Namun orang kampung lebih mengenalnya sebagai Pak Mantri. Sebuah nama yang jelas-jelas merujuk kepada profesinya, sebagai paramedis di Puskesmas Pembantu terpencil. Ya ia ada dimana-mana. Seperti matahari, ia ada untuk semua, bahkan dalam hujan. hanya saja sebagian besar dari kita tak melihat ia sedang bekerja.

Sebagai paramedis di kampung terpencil, tugasnya meliputi wilayah kaldera danau Batur yang luas. Puskesmas Pembantu IV Kintamani di desa Songan yang ia pimpin melayani lebih dari 12.000 jiwa, itupun baru desa Songan A ditambah Songan B saja. Ya desa ini dibagi menjadi dua desa dinas karena besarnya cakupan wiayah desa, ini mungkin untuk mempermudah admisnistrasi warga disini. Itupun belum dihitung warga desa Kedisan Trunyan, Belandingan, Pinggan yang juga kadang berobat kepadanya. Kampung-kampung itu menyusun gugusan desa yang merangkai bintang danu. (Padahal di masing-masing desa itu telah ada puskesmas pembantu juga, namun mereka tetap berdatangan untuk berobat ke Pak Mantri.)

Dulu waktu itu ketika paramedis masih langka, beliau adalah tumpuan, juga harapan. Ia mengunjungi pasiennya di mana saja, di kaki gunung, menyeberang danau mengobati warga di kampung sebelah, memberikan vaksinasi kepada bayi-bayi di atas bukit, dan bahkan lebih sering berjalan kaki menelusuri jalan setapak untuk menjangkau masyarakat yang tinggal di balik bukit. Ya, seringkali hal-hal yang tak kita lihat memiliki dramanya sendiri. Dan orang ini seperti melakoni perannya sendiri. Ia sebenarnya beruntung sekali.

Masih segar dalam ingatanku waktu dulu, listrik belum menjangkau desa-desa yang mengitari kaldera Batur ini, begitu juga jalan raya. Jadi penduduk desa Songan, Belandingan, Trunyan, Abang kalau mau pulang harus menumpang perahu boat bermotor yang dijejali puluhan orang. Jalan raya yang sekarang belum ada, itu tahun dulu jaman nggak enak, aku lupa tahunnya :). Walaupun begitu beberapa dari warga yang cukup punya uang, memiliki mesin disel kecil untuk penerangan di rumahnya. Beberapa yang lain memanfaatkan aki mobil, khususnya untuk memberi catu daya buat alat-alat elektronik mereka. Yah, hidup butuh hiburan. Aha, mereka ternyata kreatif juga. Ada dua orang warga menyediakan bioskop diantara tembok kain terpal gelap, dan diputarkannya film laga jaman dulu yang dibintangi Barry Prima. Wah, itu bintang jadul banget, mungkin kita-kita jaman kini nggak pernah mendengar namanya.

Dan saban malam, semua warga kampung mengandalkan lampu petromax. Lebih banyak lagi mengandalkan lampu teplok minyak tanah. Dan yang tinggal di atas bukit lebih mengandalkan obor. Lihat saja malam hari, seolah kekunang sedang terbang rendah, banyak api obor terlihat di jalan setapak yang mendaki bukit.

Nah kala itu, aku lihat Pak Mantri menyimpan vaksinnya dalam lemari pendingin yang berbahan bakar lampu. Aneh, sampai sekarang aku masih bingung kenapa bisa....??? Ya. darimana ia dapat teori itu?

Semenjak ditugaskan sebagai paramedis di kawasan ini, empat puluh tahunan yang lalu, hidupnya seratus persen berubah dan mungkin akan selamanya begitu. Ini mungkin yang orang sebut takdir atau nasib ya? Pak mantri terlahir di sebuah kampung seni di Ubud, dari seorang pekerja undagi, ia mengabdikan hidupnya di desa Songan, pesisir danau Batur menjadi paramedis. (mungkin bagi seorang pengabdi seperti ia, sebenarnya tak terikat tempat).

Dan disini pula ia menemukan belahan jiwanya, seorang penari galuh arja yang bernama Ni Wayan kartini pada masa itu. (pastilah ia sangat cantik!) Dan setelah aku melihat masa menjelang tuanya kini, guratan cantik, tegas, berani, pekerja keras itu masih tersirat.

Semenjak itu sampai detik ini, kehidupan Pak Mantri berjalan persis seperti itu. Ya, persis seperti itu. Di rumahnya, tempat ia praktek hingga pensiun kini, ia tak pernah memiliki waktu tidur yang cukup. Pasien bisa saja datang jam berapa saja. Pagi sampai petang sudah tentu pada berdatangan silih berganti. Dikira sampai jam10 malam sudah bakal berhenti? Kemudian jam 12 malam ada lagi. Dikiranya sudah selesai, jam 2 pagi masih ada lagi. Ia benar-benar tak memiliki jam praktek tetap. Ia benar-benar tak pernah menolak jika ada yang datang minta pertolongan kepadanya.

Bayangkan kejadian ini telah berlangsung dalam kurun waktu 40 tahun lebih tanpa jeda. Bayangkan, apa bahan bakar yang ia gunakan? Cinta? Pengabdian? Entahlah.. hanya ia yang tahu... Aku tanya ia, ia hanya tersenyum! Aneh!

*

Banyak kejadian lucu dan kadang mengharu biru yang telah ia alami. Dulu pada masa tak enak itu, sering kali orang berobat dan membayar pakai seikat bawang merah, setandan pisang. Sering malah utangan, karena lupa melinting uang di lipatan kain kumal mereka. Pernah sekali waktu ada seorang lelaki tua kena stroke ditandu jauh dari atas bukit bersusah payah untuk medapatkan pengobatan, anehnya ketika ia sampai di rumah dan bertemu Pak mantri ia melompat dari tandu kegirangan, seorah telah merasa sembuh. Aneh.

Sugesti mereka kadang berlebihan. Tapi sugesti kadang atau bahkan sering menjadi obat yang paling ampuh yang diberikan oleh pak mantri kepada pasien-pasiennya, tentu selain suntikan rahasia – neurobionnya – yang tak lebih adalah vitamin B alias obat penambah darah atau tenaga. Mereka semua tertipu! Syukurnya mereka semua sembuh, bahkan lelaki tua yang stroke itu. Dunia ini kadang aneh!

Pernah sekali waktu ia harus mengobati pasien di kampung utara gunung, ia dibonceng oleh keluarga orang yang sakit dengan sepeda motor, namun yang memboncengnya gelagapan, dan Pak Mantri terjatuh dari motornya. Tulang belakangnya retak. Ia harus dipapah dan menjalani pengobatan berbulan-bulan. Berjalan pakai tongkat. Namun entah kenapa, ia pulih total. Pernah juga ia mau dipukuli gara-gara seorang keluarga pasien marah, ketika ia sedang ada acara dan orang ini memaksa ia untuk datang mengobati pasien ini.

Sering kali, orang-orang kampung yang banyak bekerja menyabit rumput datang dengan luka menganga di tangan dengan darah berceceran dan ia dengan tenangnya menjarit luka ini hingga puluhan jaritan. Pernah pula terjadi perkelahian antara dua desa bertetangga dan ia dengan tenangnya naik mobil ambulan, tanpa takut jadi sasaran. Bagaimana ia punya nyali sebesar itu? Bagaimana kalau ia kena lemparan tombak atau batu bongkahan batu lahar yang beterbangan? Apa ia tak memikirkan istrinya? Apa ia tak memikirkan anak-anaknya?.... Hah,.. Bagaimana ia punya kepercayaan dan dedikasi atas pekerjaannya sebesar itu?

Dan syukurnya, pemerintah melihat apa yang ia kerjakan. Atas jasa-jasanya itu ia dianugerahi paramedis teladan Bali pada masa ia masih menjabat. Walau ia tak memiliki kesempatan bertemu dengan menteri kesehatan RI kala itu, berhubung saat yang sama istrinya tercinta sedang sakit dan tentu ia lebih mengutamakan untuk menunggui belahan jiwanya ini. Plakat dan piagam itu akhirnya dikirimkan ke Puskesmas Pembantu tempat ia bekerja. (aku melihat piagam itu berjejeran di tembok ruang tamu rumahnya kini).

*

Rumah Pak Mantri sendiri kini telah kami jadikan basecamp Komunitas Anak Alam. (terimakasih ya pak!) walau tanpa surat perjanjian kerja sama atau kontrak atau pelimpahan hak guna, tapi secara informal kita telah menasbihkannya. Ia memberikan ruangan penyimpanan obatnya untuk kita jadikan kantor – tak enak sebenarnya aku menyebutnya kantor – karena ia lebih mirip gudang atau lebih buruk? :), sehingga Komunitas Anak Alam memiliki alamat resmi: rumah Pak Mantri, Banjar Ulundanu, desa Songan, kintamani, Bali. Setidaknya secara organisasi kita telah berdiri. Kirimkan saja surat untuknya, niscaya akan sampai ketangannya, jangan ragu dengan alamat itu. :)

Dan untuk mengakhiri bagian ini, terpaksa aku harus memberikan pengakuan kepada kalian, sebenarnnya ia adalah ayahku sendiri. Sabar,... tentu aku tak sedang membicarakan pertalian darah itu disini. Aku tak sedang membicarakan seorang ayah. Kita sedang membicarakan seorang individu yang telah menulisi buku kehidupannya dengan tangannya sendiri, cuma itu. Seorang legenda hidup. Tempat aku bisa belajar hidup, membaca karyanya lembar-per-lembar. Mungkin juga kalian...

Jika saja dalam hidup ini kita bisa meminjam hasil perbuatan orang lain, sebagian saja dari buah hasil pengabdiannya aku pinjam, tentu salah satu kakiku sudah menginjak surga juga, tapi hidup tak segampang itu... bukan? :) Dengan jujur harus aku akui, hadiah terbesar yang telah diberikan dalam hidupku adalah terlahir menjadi anaknya. Tentu seorang wanita unik cerdas. Ia tak siapa-siapa, tak banyak bicara, hanya bekerja, tapi aku suka ia begitu adanya. Tak lebih tak kurang.

Dan kebodohan terbesar dalam hidupku, tentu menyia-nyiakan hadiah ini. Terimakasih guru! Tanpa kau sadar kau telah meneladani kami banyak hal! (atau kau secara sadar telah memberikan teladan?). Dalam setiap baris kata yang aku tuliskan, serasa ia ingin menendang,meng- kung fu, meninju, jab, dan membantingku dengan satu kata: Bekerjalah!



love,
pande
belandingan, jan13
thx dad!

0 comments:

Post a Comment