6:31 AM

Sebuah Taman Kecil


Indonesia adalah sebuah taman,
miris lihat benalu tumbuh subur mengakar.


Dari kejauhan 5 pahlawan kecil kami berlarian riang menelusuri jalan. Pagi, seperti biasa, seperti pagi ini, semua akan sarapan pagi mereka di warung dadong Jero Guris, membeli sarapan bubur beras. Bahkan, uang yang biasa kalian jadikan uang parkir, 500 rupiah di tempat ini ia bisa menjadi penanda awal hari bagi anak-anak ini.

Tak ada tukang koran yang lewat. Aku telah menunggunya sedari tadi. Pantas saja, siapa yang mau membawakan koran ke kampung sejauh ini? Maka, jangan tanya mereka berita politik. Jangan pula tanya nilai tukar rupiah. Apalagi IHSG bursa efek. Ssttt…. Bagaimana dengan majalah wisata, remaja, ‘dewasa’, komik atau novel…??

Jangan tanya mereka buku favorit, jangan tanya mereka Chiken Soup, The Secret, Twilight, atau Sang Pemimpi dan Laskar pelangi. Jangan juga tanya mereka dugem. Pun juga KFC, McD, Pizza Hut, Dunkin Donuts.

Tapi hah… aku masih bersyukur, mereka masih punya penghiburan, ia adalah keranjang rumput, sapi, kayu tik, jolagan, pohon nangka, dan sesekali roller blade bekas yang sudah tak berbentuk yang entah mereka pungut dari mana, kemudian diisi tali rafia, dan mereka menciptakan olah raga baru, roller ‘jungkir balik’ blade. Karena setiap kali menaikinya mereka akan sampai di ujung jalanan menurun sambil jungkir baliknya anak-anak ini.

Sesekali memanjat pohon nangka, berpesta hingga ‘mabuk’ buah nangka, menunggu hujan reda, membakar ranting cemara untuk api unggun, melempar biji nangka ke dalam api, kemudian melanjutkan pesta dengan biji nangka bakar. Terkadang dengan keterbatasan mereka jadi jauh lebih kreatif.

Pagi ini, seperti biasa, senyum tersemburat dari bibir tipis mereka. Cahaya ‘berbeda’ memendar dari raut wajah-wajah bening mereka. Entah itu cahaya apa?

Ya, ini adalah Indonesia kecil. Ini hanyalah kampung kecil yang tak pernah terucap namanya di warung kopi. Tak pernah dimuat beritanya di koran. Suara-suara mereka tertelan angin lembah. Namun karenanya, suara-suara itu masih murni (masih pantas untuk aku syukuri).

Disini kami membangun sebuah taman. Ini hanyalah taman kecil. Kami bangun taman itu diantara bebukit yang isi perutnya telah kau ambil. Di lembah, dimana titik-titik air jatuh dari tebing, memberi kami penghiburan, lagu riak air mericik yang mendendangkan irama titik air menepuk bebatuan. Tik..tik..tik..tik…. sesekali berpadu dengan suara ayam hutan yang berkokok lantang dari belukar di bukit.

Disini tak ada hiburan sinetron, layar lebar, play station. Kami tak punya sisa uang untuk membeli tv atau segala macam mainan komputer itu, kami belanjakan uang kami hampir semua untuk membeli benih bunga.

Baru saja hujan lewat. Telah beberapa minggu ini hujan turun. Kami tentu senang musim hujan masih bersahabat. Rerumputan telah lama menahan rindunya, menunggu ‘pencerahan paling berharga’ dikecup titik-titik air hujan bening.

Baru tadi kami semai ratusan benih-benih bunga baru. Semoga pucuk-pucuk muda mekar!


Salam anak Indonesia,
Salam anak alam


Pande
Belandingan,
22/02/2010

Kami bangga menjadi anak-anak muda Indonesia.
Taman ini hanyalah hadiah kecil yang bisa kami berikan untuknya.
Tetaplah cantik.

0 comments:

Post a Comment