7:30 AM

GREEN CAMP 'di sebuah tempat terindah di bumi' (prolog)




"aku ingin terbang, aku ingin berlari."
wayan kerani anak alam

Pada suatu hari di bubung pegat aku melihat seorang anak kecil yang sedang menyabit rumput, aku menghentikan langkahku, menghamparinya dan menyapanya. Lima tahun berlalu, suatu pagi aku bertemu kembali dengan anak itu yang sedang berjalan menuruni jalanan bukit untuk menuju ke sekolahnya. Saat itu ia telah masuk Sekolah Dasar. Aku sempatkan bertanya “Dik, cita-citamu apa?” dan ia menjawab sumringah “Mau menjadi tukang mencabit [menyabit] kak!” ”....mmmm... oke...” gumamku dalam hati. 20 tahun berselang aku bertemu lagi dengan anak itu dan kini ia telah dewasa. Ia masih mengenaliku, “Kak Putu, anak alam? Apa kabar kak....?” Dan aku bahagia ia masih mengingatku dan tentu lebih bangga kini ia telah memiliki peternakan sapi dan memelihara lebih dari 1000 ekor sapi di ladangnya di atas bukit bersama warga desa! Dan darinya pula aku medapatkan kabar bahwa teman-temannya yang lain telah ada yang menjadi dokter, perawat, dan seorang teman dekatnya Wayan Kerani ia kini telah menjadi pengusaha telur ayam kampung. Aku masih ingat cita-cita mereka dulu saat aku tanyakan mereka kala itu di wantilan. Tentu aku juga masih ingat saat sama-sama kita manjat pohon nangka di sebuah kebun milik seorang anak dalam hujan, lalu berpesta di pos milik kelompok tani Sari Karya sembari membuat api unggun dari ranting kayu cemara.

*

Di halaman wantilan, dalam lingkaran penuh anak-anak ini merangkaikan tangan dan membiarkan kami berada di tengah, (tentu mereka tak sedang menonton sabungan orang) mereka dengan seksama mendengarkan setiap kata yang kami ucapkan, setiap pesan yang diantaranya kami selipkan, setiap percik api yang kami pantik untuk membakar semangat mereka, anak-anak alam.

Aku teringat kembali kala malam tahun baru lalu, dengan pijaran ratusan kembang api yang menerangi langit malam belandingan, aku membacakan sebuah puisi Rabindranath Tagore yang aku rubah di sana-sini agar puisi itu lebih gampang dicerna pesannnya oleh anak-anak, sebuah puisi tentang mimpi dan seorang teman. Tentang harapan dari atas bukit. Tentang kemungkinan apa saja yang bisa terwujud.

Dan malam ini kesempatan itu terulang untuk yang kedua kali. Kutipan cerita di atas, ’seorang anak kecil yang kini telah memiliki peternakan sapi dengan 1000 sapinya’, sekali lagi merupakan rekaan hasil dari sebuah spontanitas, saat aku harus kembali membuat akal-akalan, memanasi malam dingin itu dengan cerita heroik sederhana yang pemerannya adalah mereka-mereka juga, dan keluarlah cerita ’Bermimpi’ tersebut. (Ada pelajaran berharga kita bisa petik bahwa selain pekerja seni dan dalam industri kreatif, bahkan bagi seorang pekerja sosial dan kemanusiaan pun juga harus memiliki kreatifitas yang tinggi. Kreatif adalah salah satu bibit yang harus terus kami tumbuhkan.)

”Dik, jadi apapun mimpi kalian, bahkan jika itu hanya ingin menyabit, berpimpilah! Tak salah!”
”Dan 20 tahun lagi saat kak Putu bertemu kalian dan saat itu kalian telah menjadi orang sukses tentu kak Putu akan bangga, tentu juga kalian kan?.
”Dan saat itu kalian boleh melupakan kak Putu dan kakak-kakak yang lain yang pernah datang bertemu kalian. Namun satu hal yang tak boleh ’dan sangat tabu’ untuk kalian lupakan, kalian harus terus membantu adik-adik kalian yang lain. Seperti kami mengorbankan banyak hal buat kalian.”
”Itu tugas kalian!”
”Kalian dengar!”
”Karena kak Putu dan kakak-kakak yang lain juga harus membantu teman-teman kalian di kampung yang lain.”
Mereka terdiam membatu mendengarkan pesanku masih dalam posisi merangkai tangan, dalam dingin, di bawah naungan kubah langit yang diselimuti ribuan gemintang di ketinggian desa Belandingan, sebuah desa 'yang tak tercatat dalam peta.' Sementara aku berkeliling di dalam lingkaran.

”Jadi tugas kalian adalah harus berani apa......??????”
”BERMIMPI!” mereka semua menjawab dengan serempak dan kencang.

(oke, malam ini sudah mulai panas dan aku senang!)



bersambung...

foto lebih banyak

0 comments:

Post a Comment