7:38 AM

Selalu Ada Harap

entah...
hari ini aku harus bersedih atau berbahagia,
aku tak tahu.


Menginjakkan kaki lagi di Desa Belandingan tentu adalah hadiah yang paling indah, bertemu lagi dengan anak-anak alam, melintas di jalanan yang dikelilingi alam rupawan, turut serta seorang kawan anak alam yang sejak lama memendam keinginan untuk melihat anak-anak dan kehidupan desa dari dekat, dan kali ini ia beruntung, mimpinya terwujud.

Belandingan sore itu masih sepi, para tetua masih ke ladang, anak-anak entah kemana, belum ada yang terlihat pergi bermain seperti hari lalu saat-saat aku datang. Aku menitipkan sepeda motor pelat merah pinjaman dari tanteku di rumah seorang warga desa. Tujuan kedatanganku ke Belandingan hari ini tentu bertemu dengan bapak kepala desa I Wayan Waris. Jarak rumah pak Waris hanya beberapa petak saja dari rumah ini. Segeranya kami berjalan ke sana. Sesampai di rumah pak Waris, kami harus bersabar beberapa saat, pintu rumah yang baru jadi setengah itu terlihat terkunci rapat.

Hari ini aku membawa berita gembira buat anak-anak. (Ya, kami selalu ingin bawa berita gembira buat mereka - jika saja bisa - walau saat ini kami hanya bisa datang beberapa bulan sekali, berhubung kesibukan masing-masing kawan anak alam, begitu juga aku.) Sejak beberapa lama tak mengunjungi mereka, tentu banyak rindu yang terpendam yang siap kami tumpahkan dan tentu banyak kerja yang segera harus dituntaskan dan jalan mimpi yang telah diretas untuk diwujudkan.

Beberapa minggu lalu, sumbangan uang yang dikirimkan salah satu kawan kami yang tak mau dituliskan namanya disini telah kami janjikan sebagai beasiswa untuk 5 pahlawan kecil kami, 5 anak yang terpaksa harus kami pilih dari 3.000 anak, 5 anak tak mampu dari 3.000 anak tak mampu yang lain yang menghuni kaldera, berhubung uang yang kami punya hanya cukup untuk memberikan beasiswa kepada 5 anak ini saja. (dunia khayal mode on: jika saja kami kaya tentu kami tak ingin memilih beberapa anak, sekalian saja semua anak biar tak dibilang pilih kasih, dan tentu pada komplain.)

Sembari menunggu kedatangan pak Waris, kami menyempatkan diri berjalan-jalan tuk mencoba mencari anak-anak ke jalanan desa yang menuju bak penampungan air. dari kejauhan seorang anak lelaki sedang menggendong adik perempuannya melintas jalanan tanah ladang yang menuju rumahnya. Ya, kali ini kami beruntung, kami menangkap tangan Komang Seken. Aku masih ingat baju yang ia kenakan, baju Anak Alam sumbangan dari Sekolah Dyatmika yang kami bagi-bagikan saat Green Camp beberapa bulan lalu, yang kini kaos itu telah berubah warna dari putih bersih menkadi penuh noktah-noktah abstark cokelat tanah dan beberapa noda getah nangka. Ketika aku panggil ia, ia sangat sumringah untuk datang mendekat bersama adik perempuan yang sedang digendongnya. Iya, aku ingat anak itu, tentu dari kaos anak alam yang ia kenakan, segeranya kami berbagi cerita, dan aku pungkasi memberikan selembar amplop berisi uang beasiswa (diluar daftar yang kami punya) kepadanya. Ekspresinya dingin (aneh,,.. bukannya bahagia.. hehe...)

Beberapa menit setelahnya, aku ketemu lagi dengan anak ini melintas jalan desa, ia masih membawa-bawa amplop beserta adiknya, bak harta paling berharga, yang layak ia jaga dengan nyawa. oh........

Setelahnya kami lanjutkan berjalan-jalan melihat sekolah yang terletak di dataran tinggi di utara desa. Dari kejauhan terlihat ada yang berubah. Ya, ada yang berubah. Aku hafal betul bentuk bangunan sekolah SD satu-satunya di Belandingan itu. Aku hafal betul warna biru kusen dan atap seng merah yang beberapa telah mengelupas. Kali ini bangunan itu tengah dipugar. Dari kejauhan tiang pancang bangunan baru telah berdiri di bagian sayap kanan SDN Belandingan. Dan dari kejauhan tangan-tangan para pekerja melambai-lambai ke arah kami, ternyata beberapa dari mereka mengenali aku sambil memanggil-manggil, "Pak putu, mari sini mampir..........!" Aku balas lambaian tangan mereka dengan teriakan dari jauh "Lagi ngapain tuuuuh..... iya, saya akan mampiiiiir....?"
Mereka meminta aku mampir dan melihat mereka bekerja. Setelah tiba mereka menyodorkan ember hitam yang berisi adonan semen dan pasir untuk ikut bekerja bakti., sambil bercanda.

(Baru saja pemerintah melalui depdiknas ternyata mengelontorkan dana untuk pembuatan perpustakaan dan UKS di sekolah ini beserta pemugaran ruang gurunya.)

Aku pantas berbahagia dan bersedih secara bersamaan. Tentu ini akan menjadi akhir kisah Rumah Baca Anak Alam di Desa Belandingan (kami masih mengingat bagaimana kami memulainya hanya dengan 2 rak dan beberapa buku), namun aku sangat berbahagia karena ia akan diganti oleh perpustakaan. Ya, perpustakaan, yang bahkan juga kami impikan untuk dirikan. Ya, perpustakaan. Mataku berbinar, dan kupingku baru saja seperti kesambar petir oleh berita baik mereka. (Ini juga telah menjadi tonggak dan kelak akan meretas risalah baru untuk Rumah Baca Anak Alam di desa Songan yang sebelumnya tak sempat kami dirikan.)

Karena waktu sudah semakin senja, segera setelahnya kami memutuskan untuk langsung saja bertemu dengan anak-anak yang ada di daftar beasiswa. Pilihan pertama kami adalah Meriandani 'ibu dokter' kecilku. Ia aku temui di warung milik ibunya, tak jauh dari sekolah, saat baru saja pulang dari ladang tomat membantu orang tuanya. Kami langsung menyapa dan menyodorkan amplop beasiswa yang telah bertuliskan namanya. Ia segera mencuci tangannya dan menerimanya dengan senang.

Dan sisanya kami berikan melalui pak Waris saja, berhubung hari telah mau petang. Melintas lagi di rumah pak Waris, pintu rumah itu kali ini terbuka lebar, dan ada sandal seorang laki-laki tergeletak di depan rumah, tanda-tanda ada penghuni di dalamnya. Kami mencoba melihat lebih dekat, mengetuk pintu dan pak Waris ternyata telah ada di rumah dan begitu sumringah akan kehadiran kami sore itu.
"Mari pak putu masuk,....."
"Maaf tempatnya kotor..."
Ia mempersilahkan kami berdua masuk dan merapikan karpet hijau yang menutupi lantai semen rumahnya sembari membenahi sarung yang menutupi badannya yang kedinginan habis mengendarai sepeda motor ke Kintamani dan kehujanan.

Ia membawakan kabar bahagia yang lain buatku sore ini, bahwa permintaannya untuk mendirikan Pendidikan Anak Usia Dini di desa Belandingan disetuju pemerintah, dan minggu depan biaya untuk pendirian dan operasional PAUD itu selama setahun akan segera keluar. Ia sendiri merangkap sebagai pengelola PAUD yang ia sendiri memberinya nama 'Suci Adnyana' yang menurutnya berarti 'Pikiran Suci', yang menurutku gabungan antara nama anak perempun dan laki-laki (heheh....)

Aku pantas bersedih juga berbahagia sore ini, karena segera komunitas Anak Alam tak kan lagi ada di garis depan, dan kami serahkan tongkat itu kepada PAUD Suci Adnyana, namun kami berbahagia karena dengan itu kami akan lebih kuat berada di belakang dan menyokong mereka, khususnya setelah tahun depan tak ada lagi biaya operasional. Berada di depan butuh tenaga ekstra, dan tenaga kami selama ini masih kami gunakan untuk mengisi perut sendiri yang juga harus kami pikirkan.

Perpustakaan dan PAUD Suci Adnyana akan membuka lembaran baru bagi mereka, tentu juga bagi kami dan Komunitas Anak Alam.

Tak lupa kami bisikkan: "Pesta Kembang Api telah kami siapkan, mari kita lukis langit malam, kita tabur gemintang di atas langit Belandingan, tunggu bulan Desember.....'

Ya,...
selalu ada asa kawan,
jika kita terus bermimpi,
jika kita terus memendam harap,
Selalu ada kesempatan kawan-kawan kecil.

Malam menjelang, kami harus segera pulang, (untuk segera kembali lagi).
Kami akan selalu bersama kalian!

Tantangan bagi kalian adalah terus bermimpi,
tantangan bagi kami adalah mewujudkan mimpi kalian.




copyrighted: pande
Belandingan (sebuah tempat yang tak tercatat dalam peta)
2/11/2009

trims kawan anak alam...

0 comments:

Post a Comment