7:47 AM

Green Camp I (Mimpi dari Balik Bukit)

Dear Kawan-kawan Anak Alam,
berikut adalah sekelumit kisah yang ingin saya bagikan buat kalian,
dari Green Camp Komunitas Anak Alam, Belandingan 8 - 9 Agustus 2009




Day 1:

Matahari baru samar-samar muncul di ufuk timur. Beberapa kawan-kawan muda kita telah bangun lebih awal hari ini. Hari ini telah kita nanti dan siapkan sebulan lebih, dan pukl 11:00 ( 2 jam molor dari jadwal) kita sampai di base Camp Anak Alam di desa Songan. (wow... finally)

Sejenak melepas lelah, kita menyantap bubur kacang hijau (yang sebenarnya disiapkan untuk sarapan..) Kegiatan hari itu dimulai dengan perkenalan, pembagian kamar tidur di Base Camp, tentu sekalian makan siang berhubung kami mulai mengikuti jadwal yang telah kami buat dalam buku panduan Green Camp.

Siang itu, kami melanjutkan perjalanan untuk menuju desa Belandingan yang berjarak 15 menit dari desa Songan, melewati jalanan menanjak, dengan menumpang mobil pick-up yang biasa digunakan untuk mengangkut hasil tani penduduk setempat: tomat, cabe, bawang. Pun diselingi mobil yang gak kuat nanjak, terpaksa kami turun sejenak, berjalan kaki, membiarkan mobil itu melewati tanjakan yang curam tersebut. (hah.... perjuangan dimulai hehe..)

Sampai di wantilan desa Belandingan, kami disambut oleh beberapa warga Belandingan yang telah menunggu kedatangan kami. Selang beberapa menit, Bapak I Wayan Waris, kepala desa Blandingan menyambut kami, setelah beliau pulang kerja bakti. Sebagai ucapan terimakasih, tangan saya menjulurkan t-shirt Green Camp kepada beliau atas ketersediaan mereka menerima kami selama ini.

Pak Wayan setelahnya memanggil anak-anak untuk datang melalui pengeras suara yang dipasang di atas tiang bambu tinggi, tak lama anak-anak mulai bertangan satu per satu. Adrenalin kami mulai naik. Mereka adalah inti kegiatan kami. tanpa mereka Green Camp ini tak ada. Kami mulai bekerja, bermain, dan kawan-kawan volunteer mengambil alih camp siang itu. Merapikan semua buku, alat tulis, dan sumbangan-sumbangan lain yang kami punya. Kami mulai dengan membagikan T-shirt Anak Alam yang telah disumbangkan oleh PTFA Sekolah Dyatmika sebelumnya. sampai siang itu wantilan mulai penuh anak-anak. aha.... kawan-kawan kecil kami telah datang semua.

Kemudian dilanjutkan dengan pembagian baju-baju bekas yang sudah terkumpul sejak beberapa bulan lalu. Camp telah dimulai,.... itu mungkin pesan yang tersirat bagi kawan-kawan yang baru kali ini pernah mengikuti camp.

Ada yang mesti aku catat: siang itu ada seorang ibu yang menggendong anaknya yang cacat dan tak bisa berdiri di depan mengantri untuk menerima pembagian kaos. Hati saya terenyuh walau mencoba tetap bekerja sampai pembagian kaos selesai. Segera setelahnya saya mendatangi ibu itu sembari memberikan 1 kaos yang telah saya siapkan untuk anaknya. “Bu, mudah-mudahan saya bisa bantu anak ibu selanjutnya….” Hanya kata itu yang mampu saya bisikkan. Dengan dibantu seorang laki-laki paruh baya, ibu itu membantukan menuliskan nama anak itu beserta nama ibunya untuk saya simpan dan saya ingat.

Kemudian membagi kelompok, membentuk lingkaran, belajar, bernyanyi, bermain..... Mereka satu per satu mulai berani unjuk gigi. Ketika diajar bahasa Inggris "What is your name?", "Where are you from?" beberapa dari anak-anak itu ternyata merespon. Bagus pikir kami. Kami tutup permainan siang itu dengan bernyanyi 'pundak, lutut, kaki' kemudian diterjemahkan' head. shoulders, knee and toe' versi Inggris. Kini, semua dari mereka larut.

Mereka melepas kepergian kami - untuk kembali -, sore itu dari jauh. Secara serempak memberi salam sambil melambai-lambai tangan, dengan koor ”I Love youuu.....” (Perasaan aku tak mengajarkan kata-kata itu dalam pelajaran bahasa Inggris tadi ;) ) dan kami balas ”I love you tooo.......” beserta senyum mengembangan dari atas mobil pick-up yang membawa kami pulang ke basecamp.

*

Sejenak kami menyempatkan diri mandi makan malam,
dan segeranya kami memanggil kembali sopir kendaraan tadi, untuk mendaki bukit lagi, menuju Belandingan.

Kedatangan kami jam 7 malam itu ternyata telah ditunggu-tunggu. Baru bemper depan mobil pickup-nya saja yang menyembul dari jalan kelokan dekat wantilan mereka semua mulai mengelu-elukan kami. Hehe,.. serasa bintang film Bolywood. Mereka memanggil-manggil nama kami. Kami terharu ;).... Sungguh!..................
..............................

Mereka semua merangkul tangan kami, dan mengajak serta masing-masing dari kami untuk latihan bernyanyi, sesuai dengan kelompok yang telah dibagikan, untuk pentas mereka nanti malam. Pentas yang mungkin saja akan menjadi sejarah dalam hidup mereka. Tampil di depan panggung. Ya, dihadapan penonton, meskipun yang menonton juga kawan-kawan mereka dan penduduk kampung yang tak pernah mendapatkan hiburan. Mereka mulai melafalkan lirik lagu ’Lupa lupa... judulnya’, dan ’Tak gendong.’ ”Penampilan apa yang sedang akan mereka siapkan???” pikirku.

Karena sekali lagi kami terlambat dari jadwal sesuai dengan buku panduan camp yang telah kami buat sebelumnya, segeranya kami mempersiapkan laptop, proyektor, speaker, dan mengeluarkan CD film dari tas ransel hitam yang aku bawa. Ternyata, aku baru sadar, wantilan tak ada lampunya. Segera teman-teman lain menyalakan penerangan lampu senter dari HP mereka, membantu saya dan Gustra menyelesaikan pemasangan peralatan layar lebar kami malam itu. Dan baru ketika setelah peralatan terpasang, eh.. Bapak Kepala desa datang dengan bola lampunya. Walau terlambat, tapi syukurlah. Setidaknya acara selanjutnya bisa dilakukan dalam keadaan terang.

Saya berdiri di depan panggung. Sebagai penghantar, saya sedikit menjelaskan ringkasan film yang akan kami putar: Laskar Pelangi. ”Bahwa, apapun keadaan kalian, kalian bisa belajar dari kawan-kawan kalian yang ada di Pulau Belitong dalam film ini, bahwa mereka terus belajar dan akhirnya dengan itu mereka bisa menjadi orang sukses seperti saat ini. Pesan saya pada kalian hanya satu: teruslah belajar. Bukan karena terbatas, lalu kita berhenti. Teruslah bermimpi...............” (haru mode on)

”Dan mana tepuk tangannya....!?” mereka semua bergemuruh, menanti apa gerangan itu Laskar Pelangi? Film mulai diputar. Namun selang 30 menit, gelagat mereka mulai mencurigakan. Ternyata, bahkan film se’ringan’ ini masih terlalu berat buat mereka untuk mencerna awal-awal ceritanya. Aku mulai merasa tak nyaman, nerveous, panik, merasa kasihan akan semangat mereka yang sedang membara ketika kami datang beberapa menit lalu. Laskar Pelangi terpaksa dipotong di durasi ke 30 menit. Memutar otak saya naik ke pannggung, akal-akalan, membilang bahwa film ini akan memakan waktu 2 jam. Jadi lain kali akan kami putar sambungannya. Sebagai gantinya saya memutarkan film dokumenter berdurasi 10 menit kawan saya Butet Manurung di Hutan rimba Jambi, mereka mulai sumringah lagi. ”Ok. Berhasil!”

Aku bersemangat lagi. Dan untuk menutup pemutaran film, saya putarkan foto klip dokumenter Komunitas Anak Alam bertajuk "Hartaku satu-satunya" yang telah saya buat. Surprise… ternyata yang ada di film itu adalah wajah-wajah mereka sendiri yang telah saya ambil sejak 2 tahun lalu. Mereka mulai berteriak-teriak melakukan koor ‘huaaaa……’ seperti kesurupan, dan yang lain menunjuk-nunjuk wajah temannya yang ada di layar. Hah,.. akhirnya modifikasi ini berhasil. Mereka bersemangat lagi.

Setelah itu, panggung riuh. Masing-masing dari kelompok mereka tampil ke depan. Sejujurnya, saya baru melihat mereka tampil di depan panggung dengan mental seperti ’banteng.’ Kawan-kawan volunteer membantu mereka sebagai pelatih, memperkenalkan kelompoknya dan pentas malam itu milik mereka. Bernyanyi, goyang pinggul bahkan satu kelompok membacakan pusi tentang 'turis pembawa dolar', dalam bahasa Bali. "Aneh...." (hehe...) Penonton, orang-orang tua mendekat panggung, melihat penampilan perdana bocah-bocah kecil mereka.

"Nak! kalian telah menjadikan malam ini malam yang paling mengesankan bagi kami." aku menghela nafas.

Waktu menunjuk angka 9 malam dan kami harus menuntaskan pentas mereka. Alih-alih untuk memilih satu pemenang diantara 4 kelompok mereka, Aku menjadikan semua grup mereka pememang (hehe..). Yang pada akhirnnya memungkinkan kami memberikan hadiah buku tulis, pensil dan sabun mandi kepada masing-masing dari mereka secara merata.

Malam itu saya hanya merasa sedikit terkejut, dalam bayangan saya di keseharian mereka tampak acuh, ternyata malam ini menunjukkan siapa diri mereka sebenarnya, anak-anak Belandingan.

Dan untuk kedua kalinya dalam hidup saya, saya melihat bapak kepala desa Blandingan meneteskan air mata di depan saya dalam malam perpisahan itu. Setelah sebelumnya waktu itu aku bertemu beliau di balai desa, memperlihatkan foto-foto yang telah saya ambil dan kegiatan yang akan kami lakukan buat mereka. (sungguh beliau tak sangka).

Sebelum pulang aku menitip pesan ”Kami akan lakukan apapun yang kami mampu......”


21:30 pm

Kembali ke basecamp,... malam masih belum tua dan belum terlalu larut. Kami memutuskan untuk jalan-jalan keliling desa Songan saja malam itu. Tentu dengan kendaraan. Kami hanya sejenak melihat-lihat desa dalam dekapan malam, memilih untuk menghabiskan malam itu di pinggir danau saja dengan api unggun. Ide dari Santi yang akhirnya diamini oleh semua kawan-kawan.

Sejenak menghampiri salah satu kerabat yang sekiranya punya kayu bakar malam itu, sementara minyak tanah, berhubung semua warung telah tutup malam itu, terpaksa kami menuangkannya dari kompor di basecamp. Ok,.. siap.

Menelusuri perkebunan tomat yang sedang berbuah lebat, malam itu kami seperti maling saja, mengendap endap, tanpa penerangan, melewati rumah seorang kerabat yang lain. Kebetulan saja di tempat penyimpanan mereka, tergeletak cukup banyak ranting kayu bakar, kami 'mencurinya' sedikit saja, untuk menambah perbekalan. Melewati celah-celah tanaman tomat dan bawang untuk sampai tepi danau yang berjarak hanya beberapa puluh meter saja dari basecamp.

Akhirnya kami menemukan lokasi yang pas, persis di dekat sebuah perahu dan sebagian dari kami bersandar di atasnya. Api unggun (kayu curian .. oo.....) itu kami bakar. Aku mengambil alih kemudi acara Api Unggun malam itu. Kami mulai dengan pertanyaan-pertanyaan asal ’so-called’ psikologis kepada mereka, "Buku yang pernah kamu baca yang paling kamu sukai?", ". "Apa warna kesukaanmu?" "Tersesat di gurun pasir dan kamu hanya membawa satu botol air minum, dan seorang nenek berpapasan dengan kamu dan membutuhkannya, apa yang akan kamu lakukan?", dan puluhan pertanyaan aneh-aneh yang lain. Akhirnya, kawan-kawan serasa ’ditelanjangi’ dan karakter pribadi mereka masing2 terbuka lebar. (aha...)

Ada yang memilih 1000 lilin, ada yang nyemplung ke laut, ada yang cewek matre, ada yang sedang mencari Tuhan, ada yang tak pakai otak, ada yang anak mami, ada yang maruk, ada yang lebay, ada yang tak punya pacar, dan terakhir..... kita pungkasi dengan kuis pengukur keterbatasan logika dengan mengukur tinggi gelas dan panjang lingkaran yang diajari oleh Gobind kawan baik saya. Hanya 2 dari mereka yang logikanya bisa diandalkan, lainnya...???? ***** hehe..

Ya,.. malam telah kami tutup...
Menyisakan abu, melepas danau, kembali ke basecamp,
karena kami akan mendaki bukit esok pagi.

Selamat Tidur!


bersambung...


0 comments:

Post a Comment